KATA PENGANTAR
Selain sebagai kitab suci panduan
umat muslim dalam beribadah, al-Qur’an ternyata juga beberapa kali membahas
tentang alam, yang salah satunya tentang proses penciptaan manusia. Manusia
adalah makhluk ciptaan Allah yang diciptakan dengan berbagai tahapan.
Ada banyak ayat dalam al-Qur’an yang
membahas tentang proses penciptaan manusia ini, salah satunya adalah ayat ke
12-14 dalam surat al-Mukminun, dimana tafsir dalam ketiga ayat itu akan penulis
bahas dalam makalah yang singkat ini.
Dalam penulisan makalah ini, secara
garis besar, penulis mencoba menyajikannya seperti apa yang telah dilakukan
oleh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya. Ada arti mufradat, asbab al-nuzul,
manasabah, dan tafsirnya. Khusus arti kata mufradat, tidak semua penulis bahas
karena penulis menganggap bahwa arti kata-kata itu sudah bisa dipahami secara
sekilas.
Selamat membaca!
Jakarta Selatan, 05 Oktober 2017
PEMBAHASAN
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ
سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (13)
ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً
فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ
أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (14)
“Dan demi (keagungan dan kekuaaan Kami)!
Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (yang berasal) dari
tanah. Kemudian kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang
kokoh (rahim).
Kemudian, air mani itu kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang
melekat itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan
tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami menjadikannya makhluk yang
berbentuk lain. Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik.” (QS. Al-Mu'minun: 12-14)
Mufradat
Insan, Menurut
Al-Sya’rawi, insan adalah isim jenis yang mutlak, sehingga mencangkup seluruh
pengelompokan, baik jumlah (mufrad, tatsniyah, jama’), maupun jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan).[1]
Sulalah, Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan sulalah adalah mani Nabi Adam. Menurut al-Qurthubi, sulalah
adalah inti sari air, yakni mani. Penulis kurang begitu memahami mengapa mani
menjadi intisari air sebagaimana pendapat ini. Menurut al-Kulubi, sulalah
adalah tanah.[2]
Nuthfah, Al-Qurthubi berpendapat bahwa
nuthfah adalah mani. Nuthfah adalah air yang sedikit.[3] Nuthfah
adalah intisari penciptaan manusia.[4]
Qarar Makin, menurut Ibnu Katsir dan as-Sya’rawi adalah
rahim.
‘Alaqah, Al-Maraghi dan al-Qurthubi
mengartikan kata ‘alaqah sebagai darah beku dalam terjemahan bahasa Indonesia
biasanya memakai kata segumpal darah. Namun, menurut embriolog
moderen—sebagaimana yang ditulis M. Quraish Shihab—‘alaqah adalah sesuatu yang
bergantung dan berdempet di dinding rahim.[5]
‘Idzam, menurut Ibnu
‘Abbas—sebagaimana dikutip Ibnu Katsir—mengatakan bahwa ‘idzam ini adalah
tulang sulbi.
Munasabah
Al-Qur’an adalah jalan yang harus
dilalui oleh setiap manusia. Ia adalah
aturan-aturan yang harus manusia taati. Oleh karenanya, sebelum menjelaskan
tentang proses penciptaan manusia (sebagaimana dibahas pada ayat-ayat 12-14),
telebih dahulu al-Qur’an menjelaskan aturan-aturan itu.[7]
Asbab al-nuzul
Abi Hatim meriwayatkan dari Umar, ia
berkata: Aku sesuai dengan empat ayat yang turun[8]: Wa
laqad khalaqnal... (al-Mukminun [23]: 12). Lantas aku berkata: “fa
tabaraka Allahu ahsanul khaliqin”.[9]
Suatu hari, ketika Umar mendengarkan
ayat 14 surat al-Mukminun ini, dan ketika sampai pada kalimat khalqan akhar,
kemudian ia berkata “fa tabaraka Allahu ahsanul khaliqin”. Kemudian Nabi
berkata: “Iya, seperti itu ayat yang turun”.[10]
Tafsir wal Bayan
Ayat 12
Menurut mayoritas mufassir, yang
dimaksud insan dalam ayat ini adalah keturunan Adam.[11] Hal ini
karena ayat ini menjelaskan proses penciptaan manusia yang terbuat dari tanah.
Adam terbuat dari tanah murni, sedangkan keturunannya terbuat dari mani dan
tanah.[12]
Fakhruddin al-Razi
juga menjelaskan bahwa ada dua pendapat tentang makna kata insan dalam ayat
ini: Adam dan anak cucu Adam. Apabila insan dalam ayat ini bermakna anak cucu
Adam, maka secara tidak langsung—menurut Fakhruddin al-Razi—kata
“insan” dibuat kinayah untuk menyebut anak cucu Adam. Kata insan adalah kata
umum yang bisa mencangkup Adam dan anak cucunya. Namun, bila insan dalam ayat
ini bermakna anak cucu Adam, maka kata “thin” dalam ayat ini dimaknai sebagai
“Adam”.[13]
Ayat ini juga menjelaskan perbedaan
cara yang menciptakan sesuatu yang dilakukan Allah Swt. dan manusia. Allah Swt.
mencipatakan sesuatu dari ketiadaan menjadi ada. Sedangkan manusia menciptakan
dari sesuatu yang telah ada. Kehebatan ciptaan Allah adalah ia bisa bertumbuh
dan bertambah banyak. Sedangkan ciptaan manusia tidak berkembang dan tidak
berubah.[14]
Al-Maraghi, dalam tafsirnya
menjelaskan bahwa cikal bakal kejadian manusia itu awalnya berada dalam tulang
sulbi ayah, kemudian berpindah ke dalam rahim ibu sampai lahir.[15]
Ayat 13
Dalam al-Quran sendiri
banyak istilah mani atau nuthfah dalam bentuk redaksi lain yang menunjukkan
sifat dari mani. Salah satunya dengan redaksi ma'in mahin dan ma'in dafiq.
Redaksi pertama mempunyai arti air yang hina. Diartikan seperti itu karena
dipandang dari segi tempat keluarnya, yaitu sama sama dengan tempat keluarnya air kencing.
Sedangkan redaksi yang kedua mempunyai arti air yang terpancar, maksudnya
adalah proses masuknya mani kedalam rahim.[16]
Sedangkan rahim dalam al-Qur’an dikatakan sebagai qoror makin yakni
tempat yang aman bukanlah tanpa suatu alasan. Ketika diteliti oleh para ahli,
didapati beberapa alasan mengapa rahim disebut sebagai tempat yang aman, antara
lain:
Pertama, posisinya yang terletak di antara tulang
panggul dan kedua sisinya ditopang dengan kuat oleh otot-otot yang mampu
memberikan fleksibiltas dalam pertumbuhan isi rahim sampai puluhan kali lipat
dari ukuran awal. Kedua, ditambah perlindungan dari hormon progesteron yang dihasilkan dari
wanita hamil yang berfungsi merendahkan tekanan frekuensi kontraksi rahim.[17]
Fakhruddin al-Razi
mengatakan bahwa ayat ini merupakan tahapan kedua dari proses penciptaan
manusia. Setelah pada ayat sebelumnya, Allah Swt. menjelaskan bahwa intisari
manusia itu tecipta dari tanah, maka pada ayat ini dijelaskan bahwa intisari
itu dijadikan sebagai nuthfah yang berada di dalam sulbi ayah. Kemudian,
melalui proses hubungan badan, ia berpindah ke dalam rahim ibu.[18]
Ketika nuthfah itu telah berada di
dalam rahim, ia berterbangan di dalam setiap rambut dan kuku, kemudian ia
berdiam diri selama empat puluh hari. Dan
selanjutnya menjadi satu dengan rahim dan jadilah ia ‘alaqah.[19]
Ayat 14
Kemudian air mani itu kami jadikan 'alaqah. Seperti yang telah
disebutkan diatas bahwa 'alaqah ini mempunyai dua makna, yakni segumpal
darah dan pendapat lain sesuatu yang menempel pada dinding rahim. Menurut hemat
kami keduanya bukanlah suatu yang bertentangan. Melainkan keduanya bisa saling
dikaitkan yakni, 'alaqah adalah gumpalan darah yang sifatnya melekat
atau menempel pada dinding rahim.
Kemudian gumpalan darah yang melekat itu kami jadikan segumpal daging,
kemudian dari segumpal daging kami jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu kami bungkus dengan daging. Tujuan dari
dibungkusnya tulang dengan daging ini adalah untuk memperkuatnya.[20]
Kemudian kami menjadikannya makhluk yang berbentuk lain. Ada banyak pendapat tentang apa itu khalqan akhar. Ibnu
‘Abbas berpendapat ia adalah ruh. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam ayat
ini (seakan) Allah Swt. berkata: “Aku (Allah Swt) memindah dari satu keadaan
ke keadaan yang lain, sampai bayi yang masih dalam kandungan itu lahir sebagai
bayi, kemudian tumbuh menjadi anak kecil, remaja, dan seterusnya”.
Fiqhul Hayah
Ayat ini
menjelaskan tentang penciptaan manusia. Penciptaaan
manusia—menurut Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya—terjadi dari 9 (sembilan) tahap. Tujuh tahap sebelum kelahiran dan
dua tahap setelah menjalani kehidupan. Tahapan-tahapan
ini sebagai bukti tentang kekuatan dan keesaan Allah Swt.[21]
Jika Allah menciptakan
Adam As. dari tanah liat, maka hal ini berbeda ketika Dia menciptakan keturunan
Adam As. (menusia). Manusia tercipta dari dari nuthfah (mani) yang bertemu dengan
mani perempuan (sel telur) melalui proses
persetubuhan. Sejak saat itu, terbentuklah janin.
Ada tiga tahapan yang kesemuanya berdurasi selama 40 (empat puluh) hari.
- Nuthfah yang sudah berusia 40 (empat puluh) hari berubah menjadi 'alaqah.
- 'alaqah yang berusia 40 (empat puluh) hari berubah menjadi mudghah, dan terkahir.
- Mudghah yang telah berusia 40 hari berubah lagi menjadi 'idzam.
Setelah itu, Allah membalut 'idzam tersebut
dengan daging. Kemudian Allah Swt. menjadikan makhluk baru dengan ditiupkannya ruh oleh
malaikat dengan menetapkan 4 hal seperti yang tertera dalam hadist Nabi Muhammad Saw.
PENUTUP
Allah Swt. adalah Zat yang Maha Pencipta. Dialah yang menciptakan
semua yang ada. Begitu juga manusia. Manusia diciptakan Allah Swt. dalam
berbagai tahapan. Yang diciptakan dari tanah liat adalah hanya Nabi Adam As.
Manusia atau anak keturunan Adam As. tercipta dari nuthfah (mani).
Nuthfah berubah menjadi 'alaqah dan ‘alaqah menjadi mudghah, dan
terkahir mudghah berubah lagi menjadi 'idzam. Kemudian ditutupilah idzam itu
dengan daging.
Dengan mengetahui proses penciptaan manusia, Dari penjelasan di
atas, setidaknya ada tiga hikmah yang bisa diambil sebagai tuntunan hidup,
yakni:
- Tidak pantas menyombongkan diri.
Masihkah kita bisa berbesar diri atau sombong dengan keadaan kita
yang sama-sama tercipta dari ma'in mahin (air yang hina) yang
notabenenya sama-sama keluar dari tempat keluarnya air kencing?.
- Pentingnya sebuah proses.
Meskipun Allah Swt.mampu menjadikan manusia dalam sekejap saja
(waktu yang singkat), namun Allah Swt. tetap menjadikan dan menciptakannnya dalam
beberapa tahapan.
- Menunjukkan keberadaan Allah Swt.
Dengan mengetahui bahwa manusia itu adalah ciptaan Allah Swt., ia
(manusia) akan mengakui bahwa Allah Swt. adalah Maha Pencipta. Dialah zat yang
menghidupkan dan mematikan. Hal ini sebagai bantahan terhadap mereka yang mengingkari keberadaan Allah Swt., seperti orang-orang
atheis dan orang-orang musyrik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad
Mustaha. Tafsir al-Maraghi. V. 18. 1946. Mesir: Maktabah Mustahafa
al-Babi
Al-Qurthubi, Abi
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar. Jami al-Ahkam al-Qur’an. V.
15. T.t. Beirut: Muassasah al-Risalah
Al-Suyuti, Lubab al-Nuqul. 2002. Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah.
Al-Sya’rawi, Mutawali. Tafsir al-Sya’rawi. 1991. Mesir:
Akhbar al-Yaum
Al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir Munir. V. 3. 2009. Suriah: Dar
al-Fikr
Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir. V. 23. T.t.
T.tp.: al-Bahiyyah al-Misriyyah
Katsir, Ibnu. Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim. v. 8. 2000. Kairo: Maktabah Awlad al-Syaikh.
Shihab, M.
Quraish. Al-Qur’an dan Maknanya. 2013. Tangerang: Penerbit Lentera Hati
Tim Kemenag dan
LIPI. Tafsir Ilmi Penciptaan Manusia dalam Prespektif al-Qur’an dan Sains.
2012. Jakarta: Kemenag RI.
DOWNLOAD PDF NANG KENE
[1] Mutawali
al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi (Mesir: Akhbar al-Yaum, 1991), h 9977.
[2] Abi Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurthubi, Jami al-Ahkam al-Qur’an
(Beirut: Muassasah al-Risalah, t.t.), v. 15, , h. 19.
[3] Abi Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurthubi, Jami al-Ahkam al-Qur’an,
v. 14, h. 313.
[4] Mutawali
al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, h 9979.
[5] M. Quraish
Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2013),
h. 342.
[6] M. Quraish
Shihab, Al-Qur’an dan Maknanya, h. 342.
[7] Mutawali
al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, h 9976.
[8] Maksudnya ayat
yang turun sesuai dengan apa yang diucapkan Umar.
[9] Al-Suyuti, Lubab
al-Nuqul (Beirut: Muassasah al-Kutub al-Tsaqafiyyah, 2002), h. 179.
[10] Abi Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurthubi, Jami al-Ahkam al-Qur’an,
v. 15, , h. 19.
[11] Ahmad Mustaha
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Mesir: Maktabah Mustahafa al-Babi, 1946),
v. 18, h. 8.
[12] Abi Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakar al-Qurthubi, Jami al-Ahkam al-Qur’an,
v. 15, , h. 19.
[14] Mutawali
al-Sya’rawi, Tafsir al-Sya’rawi, h. 9977.
[15] Ahmad Mustaha
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, v. 18, h. 8.
[16] Tim Kemenag RI
dan LIPI. Tafsir Ilmi Penciptaan Manusia dalam Prespektif al-Qur’an dan
Sains (Jakarta: Kemenag RI, 2012), h. 81
[17] Tim Kemenag RI
dan LIPI. Tafsir Ilmi Penciptaan Manusia dalam Prespektif al-Qur’an dan
Sains (Jakarta: Kemenag RI, 2012), h. 84
[18] Fakhruzrazi, Tafsir
al-Kabir, v. 23, h. 84.
[19] Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim (Kairo: Maktabah Awlad al-Syaikh, 2000), v. 8, h. 114.
[20] Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim, v. 8, h. 113.
[21] Wahbah
al-Zuhaili, Tafsir Munir (Suriah: Dar al-Fikr, 2009), v. 3, h. 306.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar