PENDAHULUAN
Percaya pada adanya hari Akhir, merupakan salah satu dari poin dari
rukun iman dalam agama Islam. Mempercayai hari akhir menjadi pokok dalam agama
Islam. Yaum al-Akhir adalah masa kehidupan manusia setelah habisnya
semua masa kehidupan dan yang hidup di dunia. Dan yang lebih penting lagi, hari
Akhir merupakan tujuan akhir dari kehidupan manusia.[1]
Dalam al-Quran hari Akhir digambarkan bahwa terdapat kenikmatan
dalam surga dan siksaan dalam neraka. Keduanya merupakan bentuk dari ganjaran
dan hukuman setelah apa saja yang mereka perbuat selama di dunia. Jadi, akhirat
merupakan tempat pembalasan atas kehidupan manusia.
Hal ini berbanding terbalik dengan keyakinan orang kafir.
Keseluruhan dari mereka ingkar dengan adanya hari Akhir. Menurut mereka mana
mungkin setelah mati sekian tahun bahkan berabad-abad akan hidup lagi dan akan
menerima balasan. Oleh karena itu, makalah ini membahas tafsir QS. Al-An'am
ayat 29-31, dalam ayat ini terkandung bantahan terhadap orang-orang kafir yang
menganggap tidak ada kehidupan lagi setelah kehidupan di dunia.
PEMBAHASAN
QS.
Al-An'am(6) : 29
وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ
بِمَبْعُوثِينَ (29)
Dan
tentu mereka akan mengatakan (pula): "hidup hanyalah kehidupan kita di
dunia saja, dan kita tidak akan sekali-kali dibangkitkan."
Dalam al-Quran, ayat ini mempunyai beberapa redaksi mirip yang
terletak di QS. Al-Mukminun: 37, QS. Al-Dukhan: 34-35 dan QS. Al-Jatsiyah: 24, yakni:[2]
إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا
نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ (37)
Ia tidak lain kecuali kehidupan kita di dunia ini,
kita mati dan kita hidup dan tidaklah kita akan dibangkitkan.
إِنَّ هَؤُلَاءِ لَيَقُولُونَ (34) إِنْ هِيَ
إِلَّا مَوْتَتُنَا الْأُولَى وَمَا نَحْنُ بِمُنْشَرِينَ (35)
Sesungguhnya mereka benar-benar berkata:
"Tidak ada selain kematian (yang pertama) di dunia ini dan kami
sekali-kali tidak akan dibangkitkan."
وَقَالُوا
مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا
إِلَّا الدَّهْرُ وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
(24)
Mereka berkata, "Ia tidak lain kecuali kehidupan
dunia kita saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang bisa membinasakan
kita selain masa, dan mereka sekali-kali menyangkut hal itu tidak mempunyai
pengetahuan, merka tidak lain hanyalah menduga-duga saja."
Dalam keempat ayat tersebut, secara umum sama-sama menyebutkan
tentang pengingkaran mereka terhadap hari Akhir, hari Kebangkitan. Secara
khusus, kami belum menemukan hikmah ataupun rahasia dibalik kemiripan redaksi
tersebut.
Munasabah
Ayat ini merupakan ucapan andalan mereka untuk meyakinkan yang lain
agar tidak ikut dan percaya kepada Muhammad saw. Saking membekasnya ucapan ini
dalam diri mereka, ucapan ini akan keluar meskipun Allah akan memberikan
kesempatan kedua kepada mereka—orang musyrik—dengan menghidupkan kembali ke
dunia seperti yang mereka inginkan.
Tafsir ayat 29
وَقَالُوا
Mereka mengatakan,
mereka siapa? Dalam beberapa tafsir disebutkan bahwa yang berkata itu adalah
mereka yang mengingkari hari kebangkitan. Artinya mereka ini adalah orang-orang
kafir. Menurut Ahzami Samiun, orang kafir adalah mereka yang hanya
memandang objek keimanan dengan kasat mata. Menurut mereka tidak ada sesuatu
yang lebih penting daripada isi dari dunia ini.[3] Padahal objek
keimanan rata-rata bentuknya abstrak, hal yang abstrak tidak bisa diterima
dengan mata kepala biasa, tapi dengan rasa, mata hati, atau bashiroh.
Kita ambil contoh pada kehidupan sehari-hari, seperti lukisan abstrak,
kebanyakan orang akan menganggap lukisan itu jelek, tidak ada maksud, ini
karena ia memahaminya cuma ala kadarnya. Lukisan abstrak tersebut tidak akan
bisa dipahami dengan mata biasa, melainkan harus ada rasa yang ikut menilai.
Hal ini masih berhubungan suatu di dunia yang sifatnya hanya kefanaan. Dan
bagaimana dengan wujud Allah dan objek keimanan yang lain, yang sifatnya jauh
dari kata duniawi.
إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
Potongan ayat selanjutnya, menyebutkan pengingkaran yang dilakukan
oleh kaum kafir musyrikin, atas peringatan bahwa Allah akan menghidupkan
makhluk termasuk diri mereka sesudah kematiannya. Menurut mereka, tidak ada
kehidupan setelah kematian, dan tidak ada suatu kebangkitan setelah terjadinya
kefanahan. Jika seperti itu maka, mereka pun tidak percaya adanya pahala dan
siksaan di akhirat nanti. Tidak peduli dengan semua yang dihasilkan keimanan
dan juga tidak khawatir dengan apa yang dihasilkan oleh kekufuran.[4] Kalaupun
mereka percaya dengan adanya suatu balasan, mungkin mereka hanya percaya dengan
adanya karma, yakni balasan yang langsung terjadi di dunia.
Dalam tafsir al-Razi, bahkan dengan percaya dirinya mereka berkata
bahwa bagi mereka, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan duniawiyah saja. Tidak
ada kehidupan setelah kehidupan, tidak ada pahala dan tidak ada siksa.[5] Orang yang
tidak percaya dengan suatu yang tak terlihat atau ghaib termasuk orang golongan
ateis dan materialis.[6]
QS. Al-An'am
(6): 30-31
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى رَبِّهِمْ قَالَ أَلَيْسَ هَذَا
بِالْحَقِّ قَالُوا بَلَى وَرَبِّنَا قَالَ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ
تَكْفُرُونَ (30) قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ حَتَّى إِذَا
جَاءَتْهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً قَالُوا يَاحَسْرَتَنَا عَلَى مَا فَرَّطْنَا
فِيهَا وَهُمْ يَحْمِلُونَ أَوْزَارَهُمْ عَلَى ظُهُورِهِمْ أَلَا سَاءَ مَا
يَزِرُونَ (31)
"Dan seandainya kamu
melihat mereka dihadapkan pada tuhannya (tentulah kamu melihat peristiwa yang
mengharukan). Allah berfirman: "bukankah (kebangkitan) ini benar?"
mereka menjawab: "sungguh benar, demi Tuhan kami" Allah berfirman,
"karena itu, rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkarinya. Sungguh
telah rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan,
sehingga apabila hari kiamat datang pada mereka dengan tiba-tiba, mereka pun
berkata, "alangkah besarnya penyesalan kami terhadap kelalaian kami
tentang hari kiamat itu, sambil mereka memikul dosa-dosa diatas punggungnya.
Ingatlah, amatlah buruk apa yang mereka pikul itu." (QS. Al-An'am:
30-31)
Munasabah
Setelah Allah menceritakan tentang pengingkaran orang-orang Kafir
terhadap akan adanya al-ba'ts[7], al-hasyr[8], al-nasyr[9] dan al-qiyamah.
Di ayat ini Allah menjelaskan bagaimana keadaan atau tingkah mereka saat di hari
kiamat. Kemudian di ayat 32, Allah menuturkan perbandingan hakikat kehidupan di
dunia dan akhirat.[10]
Tafsir Ayat 30
Dalam redaksi ayat ke-30 ini, Allah seakan-akan berkata pada yang
lain—bisa Nabi Muhammad atau orang-orang mukmin—tentang keadaan mereka (baca:
orang kafir), atas pengingkarannya terhadap hari kebangkitan. Yakni, seandainya
kalian tahu keadaan mereka setelah diberhentikan oleh Malaikat di
hadapan Allah. Kalian akan mendapati suatu yang menakutkan, mengerikan,
yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, yang akan mereka hadapi.
Kemudian Allah berfirman, melalui bentakan malaikat, "Bukankah
ini, yakni apa yang telah disampaikan Nabi tentang hari kiyamat, hari
kebangkitan ini adalah haq, dan bukankah apa yang selama ini kalian
sangka adalah bathil?"
mereka pun menjawab, "Sungguh benar, demi Tuhan kami." mereka
pun bersaksi bahwa tidak ada suatu keraguan didalam ajaran Nabi, dan mereka pun
mengakui atas kekafiran mereka selama ini. Tetapi pengakuannya dalam hari itu sudah tak berguna lagi.
Penggunaan kalimat bala, mengapa tidak memakai kalimat na'am?
Dalam mu'jam al-wasith, keduanya termasuk kategori harf al-jawab
yang salah satunya mempunyai makna tashdiq atau pembenaran. Tetapi dalam
penggunaannya berbeda. Untuk kalimat bala digunakan untuk menjawab
pertanyaan yang mengandung huruf nafi.[11]
Setelah adanya pengakuan tersebut, Allah berfirman, masih tetap
melalui malaikat-Nya. Maka atas segala kebohongan dan pengingkaran kalian di
dunia, rasakanlah siksa yang menyakitkan ini.
Tafsir Ayat 31
Berawal dari persepsi yang salah kaprah yakni—seperti yang telah
disebutkan dalam ayat 29—orang kafir hanya berorientasi pada kehidupan dunia
saja menyebabkan mereka tidak mau berupaya untuk menjalankan sesuatu yang
bermanfaat untuk akhirat mereka. Parahnya lagi, mereka enggan untuk bertemu
Allah bahkan benci, itu dikarenakan mereka benar-benar mengetahui tentang
keburukan yang akan diperolehnya di akhirat kelak. Seperti kutipan yang tertera
dalam hadist Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Sayyidah 'Aisyah,"….
Seorang kafir, jika memperoleh kabar tentang siksa dan murka Allah, ia membenci
bertemu dengan Allah, maka Allah juga membenci bertemu dengan mereka."[12]
Dalam ayat 31, menyebutkan betapa meruginya mereka, orang-orang
yang telah mendustakan pertemuannya dengan Allah, yaitu hari Kiamat. Sebelumnya
mereka menganggap keberadaannya hanya terpatok dengan berlakunya masa, ketika
masa selesai kehidupan pun selesai dan tidak ada yang namanya kebangkitan.
Tetapi nyatanya mereka terlalu yakin dengan pengetahuannya padahal hari Kiamat
di luar pengetahuan makhluk, seperti yang telah disebutkan dalam QS.
Al-Jatsiyah: 24, mereka hanya menduga dan mengada-ada saja.
Pengingkaran mereka pun berlangsung sampai saatnya Kiamat itu
datang secara tiba-tiba, oleh Quraisy Shihab disebutkan Kiamat itu bisa berupa
Kiamat kecil seperti kematian seseorang, bisa juga berupa Kiamat besar yakni
digambarkan dengan kehancuran total alam semesta.[13] Keduanya
sama-sama bisa mendatangkan rasa penyesalan karena mungkin selama hidupnya
belum sepenuhnya bahkan tidak sama sekali beriman dan beramal sholeh. Dan
merekapun termasuk orang yang rugi seperti yang tertera dalam QS. Al-'Ashr:
2-3.
Merekapun berkata, "Alangkah besar penyesalan kami terhadap
kelalaian kami atasnya." Dengan demikian yang tersisa dari mereka hanyalah penyesalannya
saja. Mereka seperti dalam peribahasa, "telah karam maka
tertimpa." Artinya mereka baru menyesal setelah menderita kemalangan,
kemalangan yang sangat. Penyesalan itu datang dengan memikul dosa-dosa di
atas punggung mereka, oleh al-Quran pikulan mereka digambarkan dengan
sesuatu yang sangat buruk, yakni dengan redaksi, "Sungguh, amat buruk
apa yang mereka pikul.".
Singkatnya dalam ayat ini mereka mendapatkan dua masalah, yakni Pertama,
mereka mendapatkan kerugian yang sangat besar. Kedua, mereka akan
memikul beban yang sangat berat.[14]
…. قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِلِقَاءِ اللَّهِ وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
(45)
Telah merugi orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan
Allah dan mereka tidak menjadi orang-orang yang diberi petunjuk.
Dalam ayat tersebut intinya sama, cuma bedanya di potongan ayat
yang terakhir. Dalam ayat ini menggunakan redaksi وَمَا كَانُوا مُهْتَدِينَ
dan mereka tidak menjadi
orang-orang yang diberi petunjuk artinya
dalam kasus lain juga terdapat orang-orang yang mendustakan tersebut tetapi
tidak lagi meneruskan pendustaannya kepada Allah karena mereka mendapatkan
petunjuk berupa keimanan. Kemudian diteruskan dengan petunjuk untuk melakukan
amal shalih dan merreka tidak lagi menjadi orang yang merugi.[16] Wallahu a'lam.
PENUTUP
Orang kafir adalah mereka yang hanya mempercayai objek keimanan
dengan yang kasat mata. Sesuatu yang berhubungan dengan yang ghaib tidak mereka
terima, salahsatunya hari Akhir. Mereka tidak mempercayai adanya hari Akhir,
menurut mereka tidak kehidupan lagi selain kehidupan di dunia. Ketika mereka
benar-benar merasakan Akhirat, mereka pun membenarkan dan mengakui kesalahan
mereka.
Bagi mereka tidak ada yang tersisa kecuali hanya rasa penyesalan
dan siksa yang amat pedih, dan itu adalah kerugian yang sangat besar. Kecuali
mereka yang mendapatkan petunjuk dari Allah swt. Wallahu a'lam.
Semoga dengan kondisi Islam kita, Allah masih tetap berkenan melimpahkan
petunjuk dan kasih sayang-Nya kepada kita semua. Amin.
PDF DOWNLOAD DISINI
DAFTAR PUSTAKA
Dimyathi, M.Fathoni, Ensiklopedi Al-Quran; Kumpulan Ayat-ayat
Beredaksi Mirip, (Mojokerto: Raudhatul Quran, 2009)
Jazuli, Ahzami Samiun, Kehidupan dalam Pandangan al-Quran, (Jakarta:
Gema Insani, 2006).
Kusyairi, Atjeng A, Prespektif al-Quran tentang Hari Akhir;
dalam Kajian Tematik al-Quran Tentang Ketuhanan, (Bandung: Angkasa, 2008).
Al-Razi, Fakhruddin, Mafatihu al-Ghoib, (Beirut: Dar al-Fikr,1981).
Shihab, M.
Quraisy, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009).
Al-Syayi', Muhammad bin 'Abdurrahman, Al-Furuq al-Lughawiyah wa Atsaruha fi
Tafsir al-Quran al-Karim, (Riyadh:
Maktabah al-'Abikan, 1993).
Al-Thabari, Abu Ja'far Muhammad bin Jarir, Jami' al-Bayan, (Beirut:
Muassasah al-Risalah, 1994).
Al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr,
2009).
[1]
Atjeng A. Kusyairi, "Prespektif al-Quran tentang Hari Akhir" dalam
Kajian Tematik al-Quran Tentang Ketuhanan, (Bandung: Angkasa, 2008) h. 249.
[2] M. Fathoni
Dimyati, Ensiklopedi Al-Quran; Kumpulan Ayat-ayat Beredaksi Mirip,
(Mojokerto: Raudhatul Quran, 2009), h. 82. Kecuali QS. Al-Dukhan: 34-35, karena
dalam ayat ini tidak memakai lafadh hayatuna seperti yang lain,
melainkan memakai lafadh mautatuna tetapi secara isi maksudnya sama.
[3]
Ahzami Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Quran, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), h. 408.
[4] Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir, Jami' al-Bayan, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1994), jilid 3, h. 242.
[5]
Fakhruddin al-Razi, Mafatihu al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981),
jilid 12, h. 205.
[7]
Hari kebangkitan, karena pada hari Akhir semua makhluk yang terkena khithob
untuk beribadah dan amal akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan
semua amal yang telah dikerjakan.
[9]
Hari Publikasi atau penyiaran, disebut al-Nasyr memang di hari Akhir
akan terjadi penyiaran secara blak-blakan amal-amal manusia selama di
dunia.
[11] Muhammad bin 'Abdurrahman al-Syayi', Al-Furuq
al-Lughawiyah wa Atsaruha fi Tafsir al-Quran al-Karim, (Riyadh: Maktabah
al-'Abikan, 1993), h. 296-297.
[12]
Hadist tersebut terdapat dalam kitab al-riqaq, bab Man Ahabba Liqa
Allah Liqa'ahu nomor hadist: 6507, Fath al-Bari, 2/364-365; lihat, Ahzami
Samiun Jazuli, Kehidupan dalam Pandangan al-Quran, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), h. 408-409.
[15] M. Fathoni
Dimyati, Ensiklopedi Al-Quran; Kumpulan Ayat-ayat Beredaksi Mirip,
(Mojokerto: Raudhatul Quran, 2009), h. 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar