Senin, 20 November 2017

TAFSIR TEMATIK IBADAH: SHALAT SUNNAH

TAFSIR TEMATIK IBADAH
SHOLAT SUNNAH
Oleh: Mohammad Amri Rosyadi

A.    PENDAHULUAN
Islam dibangun dari lima dasar, dan sholat merupakan dasar atau pondasi yang kedua. Sholat merupakan hal yang akan dipertanggungjawabkan pertama kali diakhirat. Ketika sholatnya bagus maka dia beruntung, tetapi ketika sholatnya jelek maka dia akan rugi. Allah sendiri telah mewajibkan hambanya untuk melakukan sholat lima waktu dalam sehari semalam. Terkadang, sholat lima waktu yang kita kerjakan jauh di katakan sempurna bahkan kurang. Sering dalam pelaksanaan tidak khusyuk, ragu-ragu, bahkan lupa.
Mengakibatkan pahalanya berkurang bahkan tidak diterima. Maka Allah dengan segala rahmat-Nya, memberikan cara lain sebagai penyempurna sholat fardhunya. Yakni dengan sholat Sunnah.
Istilah sholat Sunnah oleh kita mungkin dalilnya semua berasal dari hadist Nabi. Apakah Allah dalam Al Quran tidak membahasnya? Secara menyeluruh mungkin tidak, tapi ada sebagian sholat yang diterangkan secara langsung dan sebagian hanya indikasi adanya perintah sholat Sunnah. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan makalah ini akan mencoba membahas tentang sholat Sunnah dalam ayat-ayat al Quran.

B.     PEMBAHASAN
1.      Pengertian Sholat Sunnah
Sholat Sunnah terdiri dari dua kata yakni, sholat dan sunnah. Dalam kitab at Ta'rifat, sholat secara bahasa adalah doa, sedangkan dalam segi istilah adalah sebuah ibadah dengan rukun-rukun khusus beserta syarat dan sifat yang sudah ditentukan.[1] Sedangkan menurut Sayid Sabiq, sholat adalah suatu ibadah yang mengandung unsur ucapan dan perbuatan yang khusus, diawali dengan takbirotul ihrom dan diakhiri dengan salam.[2]
Adapun Sunnah secara bahasa berarti jalan sedangkan secara istilah adalah jalan yang ditempuh dalam agama yang tidak fardhu dan tidak wajib, dan bersumber dari ucapan nabi, gerak-gerik dan persetujuannya.[3]
Kata Sunnah sendiri dalam paduan kata sholat mempunyai beberapa padanan, yakni   نَافِلَةً (nafilah) dan تَطَوَّعَ (tathouwu'). Meskipun berbeda, tapi ketiganya saling berkaitan. Istilah Sholat Sunnah paling tidak mempunyai dua maksud, yakni sholat yang pernah dilakukan nabi dan yang kedua yakni, sholat yang jika dilakukan mendapatkan pahala jika tidak dilakukan tidak apa-apa. Sholat nafilah adalah sholat tambahan sebagai penyempurna sholat fardhu seperti yang tertera dalam QS. Al-Isro: 79, "sebagai tambahan bagimu". Dan sholat tathowwu' adalah sholat yang dilakukan secara kerelaan (suka rela) seperti pada ayat.
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ
"Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itu lebih baik baginya."(QS. Al Baqoroh: 184)

2.      Ayat-Ayat tentang Sholat Sunnah
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا (3)
"Hai orang yang berselimut. Bangkitlah dimalam hari, kecuali sedikit. Seperduanya atau kurangilah dari itu sedikit, atau lebihkan atasnya." (QS. al Muzammil: 1-3)
Ayat ini merupakan perintah Allah untuk melakukan sholat malam. Pada awalnya hukum dari sholat ini hukumnya wajib hingga turun ayat yang ke-20 yang menjadikan suatu kesunahan saja. Pada ayat pertama, "Hai orang-orang yang berselimut". Penjelasan tentang orang berselimut di sini—mengutip penjelasan M. Sholeh—secara kontekstual mempunyai arti orang yang dirundung suatu masalah, kegelisahan, kekhawatiran, kecemasan, atau bahkan ketakutan yang sangat, karena kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.[4] Hal ini Nabi sebagai contoh atas kerundungan beliau terhadap teror dan ancaman pembunuhan dari kafir Quraisy.
Dilanjutkan dengan ayat yang kedua, " Bangkitlah di malam hari, kecuali sedikit" yang merupakan bentuk tawaran berupa solusi dari Allah, untuk meredakan bahkan untuk menghilangkan perasaan-perasaan negatif tersebut, yakni dengan shalat. Lafadh qum al-laila di ayat itu, menurut Wahbah Zuhaili mempunyai arti dirikanlah sholat Tahajud.[5] Sedangkan dalam al-Ta'rifat al-Fiqhiyah mempunyai arti tersendiri dalam mengartikan qum al-lail atau sholat al-lail yakni, sholat tambahan ba'da isya' yang dilakukan sebelum tidur, dan jika setelah tidur baru dinamakan Tahajjud.[6] Di luar itu, jika dikaitkan dengan pandangan kontekstual dari M. Sholeh tadi, ayat ini juga bisaa diindikasikan adanya anjuran untuk shalat istikhoroh dalam menggapai solusi atas kegelisahan dalam sebuah pilihan. Meskipun dalil shalat istikhoroh ada tersendiri.
Terjemah tafsiriyahnya, Hai orang-orang yang sedang dirundung kesusahan, kegelisahan dan apa saja itu, tinggalkanlah selimutmu itu dengan cara mengambil air wudhu, kemudian shalatlah menghadap-Ku. Kamu pasti akan mendapatkan kekuatan, jalan keluar dan terbebas dari segala rasa gelisah dan kekhawatiranmu itu.[7]
Di ayat lain yang menyebutkan sholat tahajud, yakni.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)
"Dan pada sebagian malam, bertajudlah dengannya sebagai tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang terpuji." (QS. al Isro: 79)

Secara singkat ayat ini merupakan penegasan bahwa tahajud merupakan ibadah tambahan dengan janji pengangkatan derajat bagi pengamalnya.[8] Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan tentang sholat tahajud yang merupakan kefardhuan yang lain dikhususkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai tambahan atas kewajiban sholat lima waktu.[9] Dengan ayat ini Allah menuntut kepada Nabi dengan menyatakan bahwa: Dan pada sebagian malam, bangunlah dan bertahajudlah dengannya, yakni dengan baca al-Quran, dengan kata lain lakukanlah sholat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan kewajiban, atau sebagai tambahan ketinggian derajatmu, mudah-mudahan dengan ibadah ini Tuhan pemelihara dan pembimbingmu mengangkatmu di hari kiamat nanti ketempat yang terpuji. 
Lafadh tahajud berasal dari kata hujud yang berarti tidur. Dan tahajudnya sendiri oleh at-Thobari diartikan dengan bangun kemudian terjaga dari tidur.[10] Sedangkan menurut al-Biqo'i –seperti yang dikutip oleh Quraiys Shihab—yaitu tinggalkanlah tidurmu untuk melakukan sholat.[11]
Lafadh nafilah, berarti tambahan. Dalam tafsir munir menyebutkan, bahwa nafilah adalah ibadah tambahan atas sholat lima waktu yang dikhususkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak pada umatnya. Adapun untuk umatnya hanya bersifat mandubah dan sukarela.[12] Dikatakan khusus, karena memang khitobnya adalah Rasulullah. Oleh karena itu, ada ulama yang kurang setuju jika QS. Al-Isra: 79 ini dibuat dalil tahajud untuk umat islam secara umum. Dan yang cocok sebagai dalil tahajud untuk umat Rasulullah adalah QS. Al-Sajdah: 16, seperti yang diriwayatkan oleh al-Hasan al-Bashri, Mujahid, Malik, dan al-Auza'i yang mengatakan bahwa ayat ini turun tentang al-Mutahajidin yakni orang-orang yang menghidupkan malamnya dengan sholat. Oleh Wahbah Zuhaili hal ini merupakan salah satu persifatan orang-orang mukmin.[13]
Kembali ke QS. Al-Isra:79, lafadh 'asa berarti pengharapan, atau bisa dikatakan suatu yang akan dijanjikan. Terlebih lafadh ini merupakan ucapan dari Allah. Rata-rata para mufasir mengatakan wajib, meminjam istilah Quraiys Shihab berarti suatu kepastian.[14] Artinya Allah pasti menepati janjinya untuk menempatkan para Mutahajjid di tempat yang tinggi. Dalam shohih Muslim—menurut Wahbah Zuhaili—Nabi bersabda, maqooman mahmuda adalah maqom yang bisa memberikan syafaat pada umatku.[15] Kalau seperti itu, hemat penulis, bisa diartikan jika seorang guru yang istiqomah melaksanakan sholat tahajud dia akan di beri wewenang untuk memberikan syafaat pada muridnya, seorang anak pada orang tuanya, seorang suami pada istrinya, dll.
Adapun penjelasan sholat dhuha, sebagai berikut.
إِنَّا سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ (18)
"Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung bersamanya. Mereka senantiasa bertasbih diwaktu petang dan pagi hari." (QS. Shod: 18)
Secara makna dhohir mungkin tak terlihat di sisi mananya ayat ini bisa diambil sebagai landasan sholat sunnah. Ayat di atas menjelaskan bahwa penganugerahan kepada nabi Daud atas kemampuannya menundukkan gunung-gunung demi kepentingan manusia.[16] Memang, jika dipahami secara umum, lafadh tasbih artinya penyucian kepada Allah. Tetapi ada sebagian ulama yang memaknai lafadh tasbih dengan makna khusus atau beralih dari makna umum, yakni perintah sholat.[17] Karena dalam sholat juga terdapat penyucian kepada Allah dan pujian-pujiannya.[18] Seperti ayat di bawah ini oleh Ali as-Shobuni—mengutip perkataan al Qurtubi—banyak para mufasir memaknai lafadh Tasbih dengan perintah sholat, sehingga menjadi isyarat tentang waktu-waktu sholat.[19]
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى (130)
"Maka bersabarlah atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah (sholatlah) dengan memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari (waktu shubuh) dan sebelumnya terbenamnya (waktu ashar), dan pada waktu-waktu malam (sholat Isya') bertasbihlah, dan pada penghujung-penghujung siang (waktu dhuhur dan maghrib) supaya engkau ridho." (QS. Thoha: 130)
Lafadh 'asyiy mempunyai arti petang, menurut Ibnu Jarir, lafadh 'Asyiy adalah dari waktu ashar sampai malam.[20] Tapi semakin kesini pendapat itu mulai dikerucutkan, dalam tafsir Misbah waktu setelah Ashar, dimana rata-rata orang kembali dari aktifitasnya, sedangkan tafsir Munir berarti waktu Isya'.
Adapun lafadh isyroq berarti waktu mulai jelasnya cahaya matahari, yaitu kira-kira kadar naiknya sepenggalah, artinya waktu isyroq adalah waktu dhuha, ini sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas. Dalam kitab tafsir al-Baghowi.[21]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِبِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ سورة ص آية 18 قَالَ : كُنْتُ أَمُرُّ بِهَذِهِ الآيَةِ لا أَدْرِي مَا هِيَ حَتَّى حَدَّثَتْنِي أَمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا ، فَدَعَا بِوُضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، ثُمَّ صَلَّى الضُّحَى ، فَقَالَ : " يَا أُمَّ هَانِئٍ ، هَذِهِ صَلاةُ الإِشْرَاقِ
Dengan seperti itu, berarti lafadh tasbih pada QS. Shod: 18 bisa diartikan dengan sholat. Jadi makna tafsiriyahnya menjadi "mereka sholat di waktu petang (ashar sampai Isya') dan pagi hari di waktu dhuha."
Dalam masalah ini terjadi perdebatan ulama' antara apakah Dhuha sama dengan Isyroq atau tidak? Jawabannya, menurut al-Ramli, Imam Zakariya, dan Ibnu Hajar al-Haitamy Dhuha itu adalah Isyroq berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tersebut. Sedangkan Imam Ghozali dan Ibnu Hajar al-Asqolani berpendapat bahwa shalat Isyroq itu berbeda dengan shalat Dhuha.[22]

3.      Fadhilah Sholat Sunnah
a.       Penyempurna ibadah-ibadah fardhu dan menutupi kekurangan-kekurangan sholat wajib
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
Sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah ‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu, “Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah no. 1426 dan Ahmad 2: 425.)
b.      Pengangkat derajat hamba dan penghapus dosa
Ma’dan bin Abi Tholhah al-Ya’mari, ia berkata, "Aku pernah bertemu Tsauban—bekas budak Rasulullah saw—lalu aku berkata padanya, Beritahukanlah padaku suatu amalan yang karenanya Allah akan memasukkanku ke dalam surga." Dalam redaksi lain Ma’dan berkata, "Aku berkata pada Tsauban", "Beritahukan padaku suatu amalan yang dicintai Allah". Ketika ditanya, Tsauban malah diam.
Kemudian ditanya untuk kedua kalinya, ia pun masih diam. Sampai ketiga kalinya, Tsauban berkata, "Aku pernah menanyakan hal yang ditanyakan tadi pada Rasulullah saw. Beliau bersabda,
عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
"Hendaklah engkau memperbanyak sujud (perbanyak sholat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau memperbanyak sujud karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan dosamu." (HR. Muslim no. 488)[23]
c.       Bentuk ungkapan rasa syukur seorang hamba terhadap Allah swt.
Dan diriwayatkan dari 'Aisyah, beliau berkata, "Jika Rasulullah saw. melakukan sholat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki beliau merekah, lalu "aisyah bertanya, "Kenapa engkau melakukan semua ini, padahal Allah swt. Telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" lalu beliau menjawab, "Apakah tidak boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur."(HR. Bukhori no. 4836)[24]

C.    PENUTUP
Sholat sunnah dengan segala bentuk padanannya mempunyai beberapa pengertian yakni pertama, sholat yang pernah dilakukan oleh Nabi. Kedua, sholat yang jika dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak, tidak apa-apa. Ketiga, sholat yang menjadi tambahan atas kekurangan dalam sholat fardhu. Keempat, sholat yang pelaksanaannya secara sukarela.
Ayat-ayat diatas merupakan sebagian dalil Sholat Sunnah yang ada dalam al-Quran. Meskipun tidak secara keseluruhan, tapi paling tidak ada indikasi untuk kesana. Redaksinya pun tidak sejelas Sholat fardhu, seperti dengan redaksi aqimu as sholah dengan segala turunannya. Sedangkan untuk sholat Sunnah di sini penulis menemukan beberapa redaksi yang berkaitan seperti nafilah, yusabbihu, qum, dan mungkin masih banyak lagi selain yang sudah disebutkan.
Fadhilah mengerjakan sholat Sunnah sangat besar sekali, lebih-lebih ia sebagai penyempurna dari apa yang kurang pada ibadah-ibadah fardhu, penghapus dosa, dan yang paling tinggi ialah sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Allah swt.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qohthoni, Sa'id bin Ali. 2003. Sholat Al-Mu'min. Riyadh: Muassasah Al-Jarisi
As-Shobuni, M. Ali. 1981. Shofwatu at Tafasir. Beirut: Dar al Quran al Karim.
At-Thobari, Ibnu Jarir. 1994. Jami' al Bayan. Beirut: Muassasah Arrisalah.
Fairuzzabadi, 1992. Tanwir al-Miqbas. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.
Hadzami, M. Syafi'i. 2010. Taudhihul Adillah 4. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ihsan, M. 'Amimul. 2003. At Ta'rifat al Fiqhiyah. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah.
Sabiq, Sayid. Fiqh as Sunnah. Kairo: Al Fath li al A'lam al 'Arobi.
Shihab, M. Quraiys. 2002. Tafsir Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sholeh, M. 2012. Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Jakarta: Naura.
Zuhaili, Wahbah. 2009. At-Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.






[1] M. 'Amim Al Ihsan, At Ta'rifat Al Fiqhiyah (Beirut: Darul Kutub al 'Ilmiyah, 2003) cet. 1, hlm. 129
[2]  Sayid Sabiq, Fiqh As Sunnah, (Kairo: al Fath lil A'lam al 'Arobi, tt) hlm. 63
[3] M. 'Amim Al Ihsan, At Ta'rifat Al Fiqhiyah, hlm. 116
[4] Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit, (Jakarta: Naura, 2012), hlm. 105
[5] Wahbah Zuhaili, at Tafsir al Munir, jilid 15, hlm. 207
[6] M. 'Amim Al Ihsan, At Ta'rifat Al Fiqhiyah, hlm. 130
[7] Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit, hlm. 105
[8] Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit, hlm. 3
[9] Wahbah Zuhaili, at Tafsir al Munir, jilid 8, hlm. 157
[10]  Ibnu Jarir at-Thobari, Jami' al-Bayan (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1994) hlm. 57
[11] M. Qurays Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002) jilid 7 hlm. 165, Wahbah Zuhaili, at Tafsir al Munir, hlm. 152
[12] Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, hlm. 157
[13] Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, jilid 11, hlm 225
[14]  M. Quraiys Shihab, Tafsir Misbah, hlm. 167
[15] Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, hlm. 158
[16]  M. Quraiys Shihab, Tafsir Misbah, Jilid 7, hlm. 360
[17]  Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1992) hlm. 337; M. Ali as-Shobuni, Shofwatut Tafasir, jilid 2, hlm. 251; Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 1, hlm. 68
[18]  M. Quraiys Shihab, Tafsir Misbah, jilid 11, hlm. 710
[19]  M. Ali as-Shobuni, Shofwatut Tafasir, jilid 2, hlm. 251
[20]  Ibnu jarir at-Thobari, Jami' al-Bayan, Jilid 6, hlm. 340
[21]  http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=765&hid=1006&pid=373199 dikunjungi pada 15 okt 2017 jam 08.48
[22] M. Syafi'I Hadzami, Taudhihul Adillah 4, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010), hlm. 412; lihat juga, www.piss-ktb.com/2012/02/681-sholat-sholat-isyroq.html?m=1 diakses pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 23.59
[23]  Said bin Ali al-Qohthoni, Sholat al-Mu'min, Hlm. 282
[24]  Said bin Ali al-Qohthoni, Sholat al-Mu'min, hlm. 285
pdf download disini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar