TAFSIR TEMATIK IBADAH
SHOLAT SUNNAH
Oleh: Mohammad Amri
Rosyadi
A. PENDAHULUAN
Islam dibangun dari lima
dasar, dan sholat merupakan dasar atau pondasi yang kedua. Sholat merupakan hal
yang akan dipertanggungjawabkan pertama kali diakhirat. Ketika sholatnya bagus
maka dia beruntung, tetapi ketika sholatnya jelek maka dia akan rugi. Allah
sendiri telah mewajibkan hambanya untuk melakukan sholat lima waktu dalam
sehari semalam. Terkadang, sholat lima waktu yang kita kerjakan jauh di katakan
sempurna bahkan kurang. Sering dalam pelaksanaan tidak khusyuk, ragu-ragu,
bahkan lupa.
Mengakibatkan pahalanya berkurang bahkan tidak diterima. Maka Allah dengan segala rahmat-Nya, memberikan cara lain sebagai penyempurna sholat fardhunya. Yakni dengan sholat Sunnah.
Mengakibatkan pahalanya berkurang bahkan tidak diterima. Maka Allah dengan segala rahmat-Nya, memberikan cara lain sebagai penyempurna sholat fardhunya. Yakni dengan sholat Sunnah.
Istilah sholat Sunnah
oleh kita mungkin dalilnya semua berasal dari hadist Nabi. Apakah Allah dalam
Al Quran tidak membahasnya? Secara menyeluruh mungkin tidak, tapi ada sebagian
sholat yang diterangkan secara langsung dan sebagian hanya indikasi adanya
perintah sholat Sunnah. Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan makalah ini
akan mencoba membahas tentang sholat Sunnah dalam ayat-ayat al Quran.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian
Sholat Sunnah
Sholat Sunnah terdiri dari dua kata yakni, sholat dan
sunnah. Dalam kitab at Ta'rifat, sholat secara bahasa adalah doa,
sedangkan dalam segi istilah adalah sebuah ibadah dengan rukun-rukun khusus
beserta syarat dan sifat yang sudah ditentukan.[1] Sedangkan menurut Sayid Sabiq, sholat adalah suatu
ibadah yang mengandung unsur ucapan dan perbuatan yang khusus, diawali dengan
takbirotul ihrom dan diakhiri dengan salam.[2]
Adapun Sunnah secara bahasa berarti jalan sedangkan
secara istilah adalah jalan yang ditempuh dalam agama yang tidak fardhu dan
tidak wajib, dan bersumber dari ucapan nabi, gerak-gerik dan persetujuannya.[3]
Kata Sunnah sendiri dalam paduan kata sholat mempunyai
beberapa padanan, yakni نَافِلَةً (nafilah) dan تَطَوَّعَ (tathouwu').
Meskipun berbeda, tapi ketiganya saling berkaitan. Istilah Sholat Sunnah paling
tidak mempunyai dua maksud, yakni sholat yang pernah dilakukan nabi dan yang
kedua yakni, sholat yang jika dilakukan mendapatkan pahala jika tidak dilakukan
tidak apa-apa. Sholat nafilah adalah sholat tambahan sebagai penyempurna sholat
fardhu seperti yang tertera dalam QS. Al-Isro: 79, "sebagai tambahan
bagimu". Dan sholat tathowwu' adalah sholat yang dilakukan
secara kerelaan (suka rela) seperti pada ayat.
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ
خَيْرٌ لَهُ
"Barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan,
maka itu lebih baik baginya."(QS.
Al Baqoroh: 184)
2. Ayat-Ayat
tentang Sholat Sunnah
يَاأَيُّهَا
الْمُزَّمِّلُ (1) قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا (2) نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ
مِنْهُ قَلِيلًا (3)
"Hai orang yang berselimut. Bangkitlah
dimalam hari, kecuali sedikit. Seperduanya atau kurangilah dari itu sedikit,
atau lebihkan atasnya." (QS. al Muzammil: 1-3)
Ayat ini merupakan
perintah Allah untuk melakukan sholat malam. Pada awalnya hukum dari sholat ini
hukumnya wajib hingga turun ayat yang ke-20 yang menjadikan suatu kesunahan
saja. Pada ayat pertama, "Hai orang-orang yang berselimut". Penjelasan
tentang orang berselimut di sini—mengutip penjelasan M. Sholeh—secara
kontekstual mempunyai arti orang yang dirundung suatu masalah, kegelisahan,
kekhawatiran, kecemasan, atau bahkan ketakutan yang sangat, karena
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.[4] Hal ini Nabi sebagai contoh atas kerundungan beliau
terhadap teror dan ancaman pembunuhan dari kafir Quraisy.
Dilanjutkan dengan ayat
yang kedua, " Bangkitlah di malam hari, kecuali sedikit" yang
merupakan bentuk tawaran berupa solusi dari Allah, untuk meredakan bahkan untuk
menghilangkan perasaan-perasaan negatif tersebut, yakni dengan shalat. Lafadh qum
al-laila di ayat itu, menurut Wahbah Zuhaili mempunyai arti dirikanlah
sholat Tahajud.[5] Sedangkan dalam al-Ta'rifat al-Fiqhiyah mempunyai
arti tersendiri dalam mengartikan qum al-lail atau sholat al-lail
yakni, sholat tambahan ba'da isya' yang dilakukan sebelum tidur, dan jika setelah
tidur baru dinamakan Tahajjud.[6] Di luar itu, jika dikaitkan dengan pandangan kontekstual
dari M. Sholeh tadi, ayat ini juga bisaa diindikasikan adanya anjuran untuk shalat
istikhoroh dalam menggapai solusi atas kegelisahan dalam sebuah pilihan. Meskipun
dalil shalat istikhoroh ada tersendiri.
Terjemah tafsiriyahnya, Hai
orang-orang yang sedang dirundung kesusahan, kegelisahan dan apa saja itu,
tinggalkanlah selimutmu itu dengan cara mengambil air wudhu, kemudian shalatlah
menghadap-Ku. Kamu pasti akan mendapatkan kekuatan, jalan keluar dan terbebas
dari segala rasa gelisah dan kekhawatiranmu itu.[7]
Di ayat lain yang
menyebutkan sholat tahajud, yakni.
وَمِنَ
اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ
مَقَامًا مَحْمُودًا (79)
"Dan pada sebagian malam, bertajudlah dengannya sebagai
tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang
terpuji." (QS. al Isro: 79)
Secara singkat ayat ini merupakan penegasan bahwa tahajud
merupakan ibadah tambahan dengan janji pengangkatan derajat bagi pengamalnya.[8] Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan
tentang sholat tahajud yang merupakan kefardhuan yang lain dikhususkan kepada
Nabi Muhammad saw. sebagai tambahan atas kewajiban sholat lima waktu.[9] Dengan ayat ini Allah menuntut kepada Nabi dengan
menyatakan bahwa: Dan pada sebagian malam, bangunlah dan bertahajudlah
dengannya, yakni dengan baca al-Quran, dengan kata lain lakukanlah sholat tahajud
sebagai suatu ibadah tambahan kewajiban, atau sebagai tambahan ketinggian
derajatmu, mudah-mudahan dengan ibadah ini Tuhan pemelihara dan pembimbingmu
mengangkatmu di hari kiamat nanti ketempat yang terpuji.
Lafadh tahajud berasal dari kata hujud yang
berarti tidur. Dan tahajudnya sendiri oleh at-Thobari diartikan dengan bangun
kemudian terjaga dari tidur.[10] Sedangkan menurut al-Biqo'i –seperti yang dikutip oleh
Quraiys Shihab—yaitu tinggalkanlah tidurmu untuk melakukan sholat.[11]
Lafadh nafilah, berarti tambahan. Dalam tafsir
munir menyebutkan, bahwa nafilah adalah ibadah tambahan atas sholat lima waktu
yang dikhususkan kepada Nabi Muhammad saw. tidak pada umatnya. Adapun untuk
umatnya hanya bersifat mandubah dan sukarela.[12] Dikatakan khusus, karena memang khitobnya adalah
Rasulullah. Oleh karena itu, ada ulama yang kurang setuju jika QS. Al-Isra: 79
ini dibuat dalil tahajud untuk umat islam secara umum. Dan yang cocok sebagai
dalil tahajud untuk umat Rasulullah adalah QS. Al-Sajdah: 16, seperti yang
diriwayatkan oleh al-Hasan al-Bashri, Mujahid, Malik, dan al-Auza'i yang
mengatakan bahwa ayat ini turun tentang al-Mutahajidin yakni orang-orang
yang menghidupkan malamnya dengan sholat. Oleh Wahbah Zuhaili hal ini merupakan
salah satu persifatan orang-orang mukmin.[13]
Kembali ke QS. Al-Isra:79, lafadh 'asa berarti
pengharapan, atau bisa dikatakan suatu yang akan dijanjikan. Terlebih lafadh
ini merupakan ucapan dari Allah. Rata-rata para mufasir mengatakan wajib,
meminjam istilah Quraiys Shihab berarti suatu kepastian.[14] Artinya Allah pasti menepati janjinya untuk menempatkan
para Mutahajjid di tempat yang tinggi. Dalam shohih Muslim—menurut
Wahbah Zuhaili—Nabi bersabda, maqooman mahmuda adalah maqom yang bisa
memberikan syafaat pada umatku.[15] Kalau seperti itu, hemat penulis, bisa diartikan jika
seorang guru yang istiqomah melaksanakan sholat tahajud dia akan di beri
wewenang untuk memberikan syafaat pada muridnya, seorang anak pada orang
tuanya, seorang suami pada istrinya, dll.
Adapun penjelasan sholat dhuha, sebagai berikut.
إِنَّا
سَخَّرْنَا الْجِبَالَ مَعَهُ يُسَبِّحْنَ بِالْعَشِيِّ وَالْإِشْرَاقِ (18)
"Sesungguhnya Kami menundukkan gunung-gunung bersamanya.
Mereka senantiasa bertasbih diwaktu petang dan pagi hari." (QS. Shod:
18)
Secara makna dhohir mungkin tak terlihat di sisi mananya
ayat ini bisa diambil sebagai landasan sholat sunnah. Ayat di atas menjelaskan
bahwa penganugerahan kepada nabi Daud atas kemampuannya menundukkan
gunung-gunung demi kepentingan manusia.[16] Memang, jika dipahami secara umum, lafadh tasbih artinya
penyucian kepada Allah. Tetapi ada sebagian ulama yang memaknai lafadh tasbih
dengan makna khusus atau beralih dari makna umum, yakni perintah sholat.[17] Karena dalam sholat juga terdapat penyucian kepada Allah
dan pujian-pujiannya.[18] Seperti ayat di bawah ini oleh Ali as-Shobuni—mengutip
perkataan al Qurtubi—banyak para mufasir memaknai lafadh Tasbih dengan perintah
sholat, sehingga menjadi isyarat tentang waktu-waktu sholat.[19]
فَاصْبِرْ عَلَى مَا
يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ
غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ
تَرْضَى (130)
"Maka bersabarlah atas apa yang mereka katakan, dan
bertasbihlah (sholatlah) dengan
memuji Tuhanmu sebelum terbit matahari (waktu shubuh) dan sebelumnya
terbenamnya (waktu ashar), dan pada waktu-waktu malam (sholat Isya')
bertasbihlah, dan pada penghujung-penghujung siang (waktu dhuhur dan
maghrib) supaya engkau ridho." (QS. Thoha: 130)
Lafadh 'asyiy mempunyai arti petang, menurut Ibnu
Jarir, lafadh 'Asyiy adalah dari waktu ashar sampai malam.[20] Tapi semakin kesini pendapat itu mulai dikerucutkan,
dalam tafsir Misbah waktu setelah Ashar, dimana rata-rata orang kembali dari
aktifitasnya, sedangkan tafsir Munir berarti waktu Isya'.
Adapun lafadh isyroq berarti waktu mulai jelasnya
cahaya matahari, yaitu kira-kira kadar naiknya sepenggalah, artinya waktu
isyroq adalah waktu dhuha, ini sesuai dengan hadist Nabi yang diriwayatkan oleh
Ibnu 'Abbas. Dalam kitab tafsir al-Baghowi.[21]
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ : بِالْعَشِيِّ وَالإِشْرَاقِ سورة ص آية
18 قَالَ : كُنْتُ أَمُرُّ بِهَذِهِ الآيَةِ لا أَدْرِي مَا هِيَ حَتَّى
حَدَّثَتْنِي أَمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا ، فَدَعَا بِوُضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ،
ثُمَّ صَلَّى الضُّحَى ، فَقَالَ : " يَا أُمَّ هَانِئٍ ، هَذِهِ صَلاةُ
الإِشْرَاقِ
Dengan seperti itu, berarti lafadh tasbih pada QS. Shod:
18 bisa diartikan dengan sholat. Jadi makna tafsiriyahnya menjadi "mereka
sholat di waktu petang (ashar sampai Isya') dan pagi hari di waktu dhuha."
Dalam masalah ini terjadi perdebatan ulama' antara apakah
Dhuha sama dengan Isyroq atau tidak? Jawabannya, menurut al-Ramli, Imam
Zakariya, dan Ibnu Hajar al-Haitamy Dhuha itu adalah Isyroq berdasarkan hadist
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas tersebut. Sedangkan Imam Ghozali dan Ibnu
Hajar al-Asqolani berpendapat bahwa shalat Isyroq itu berbeda dengan shalat
Dhuha.[22]
3. Fadhilah
Sholat Sunnah
a. Penyempurna
ibadah-ibadah fardhu dan menutupi kekurangan-kekurangan sholat wajib
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa
Rasulullah saw
pernah bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ
بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا
جَلَّ وَعَزَّ لِمَلاَئِكَتِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِى صَلاَةِ عَبْدِى
أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ
كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِى مِنْ تَطَوُّعٍ
فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِى فَرِيضَتَهُ مِنْ
تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الأَعْمَالُ عَلَى ذَاكُمْ
Sesungguhnya amalan yang
pertama kali dihisab pada manusia di hari kiamat nanti adalah shalat. Allah
‘azza wa jalla berkata kepada malaikat-Nya dan Dia-lah yang lebih tahu,
“Lihatlah pada shalat hamba-Ku. Apakah shalatnya sempurna ataukah tidak? Jika
shalatnya sempurna, maka akan dicatat baginya pahala yang sempurna. Namun jika
dalam shalatnya ada sedikit kekurangan, maka Allah berfirman: Lihatlah, apakah
hamba-Ku memiliki amalan sunnah. Jika hamba-Ku memiliki amalan sunnah, Allah
berfirman: sempurnakanlah kekurangan yang ada pada amalan wajib dengan
amalan sunnahnya.” Kemudian amalan lainnya akan diperlakukan seperti ini.” (HR. Abu Daud no. 864, Ibnu Majah no. 1426 dan Ahmad 2:
425.)
b. Pengangkat
derajat hamba dan penghapus dosa
Ma’dan bin Abi Tholhah al-Ya’mari,
ia berkata, "Aku pernah bertemu Tsauban—bekas budak Rasulullah saw—lalu
aku berkata padanya, Beritahukanlah padaku suatu amalan yang karenanya Allah akan
memasukkanku ke dalam surga." Dalam redaksi lain Ma’dan berkata, "Aku
berkata pada Tsauban", "Beritahukan padaku suatu amalan yang dicintai
Allah". Ketika ditanya, Tsauban malah diam.
Kemudian ditanya untuk
kedua kalinya, ia pun masih diam. Sampai ketiga kalinya, Tsauban berkata, "Aku
pernah menanyakan hal yang ditanyakan tadi pada Rasulullah saw. Beliau
bersabda,
عَلَيْكَ
بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ
رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
"Hendaklah engkau memperbanyak sujud
(perbanyak sholat) kepada Allah. Karena tidaklah engkau memperbanyak sujud
karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan menghapuskan
dosamu." (HR. Muslim no. 488)[23]
c. Bentuk
ungkapan rasa syukur seorang hamba terhadap Allah swt.
Dan diriwayatkan dari 'Aisyah, beliau berkata, "Jika
Rasulullah saw. melakukan sholat, beliau berdiri hingga kedua telapak kaki
beliau merekah, lalu "aisyah bertanya, "Kenapa engkau melakukan semua
ini, padahal Allah swt. Telah memberikan ampunan bagimu atas dosa-dosamu yang
telah lalu dan yang akan datang?" lalu beliau menjawab, "Apakah tidak
boleh jika aku termasuk hamba yang bersyukur."(HR. Bukhori no. 4836)[24]
C. PENUTUP
Sholat sunnah dengan
segala bentuk padanannya mempunyai beberapa pengertian yakni pertama,
sholat yang pernah dilakukan oleh Nabi. Kedua, sholat yang jika
dikerjakan mendapat pahala dan jika tidak, tidak apa-apa. Ketiga, sholat
yang menjadi tambahan atas kekurangan dalam sholat fardhu. Keempat,
sholat yang pelaksanaannya secara sukarela.
Ayat-ayat diatas
merupakan sebagian dalil Sholat Sunnah yang ada dalam al-Quran. Meskipun tidak
secara keseluruhan, tapi paling tidak ada indikasi untuk kesana. Redaksinya pun
tidak sejelas Sholat fardhu, seperti dengan redaksi aqimu as sholah
dengan segala turunannya. Sedangkan untuk sholat Sunnah di sini penulis
menemukan beberapa redaksi yang berkaitan seperti nafilah, yusabbihu,
qum, dan mungkin masih banyak lagi selain yang sudah disebutkan.
Fadhilah mengerjakan
sholat Sunnah sangat besar sekali, lebih-lebih ia sebagai penyempurna dari apa
yang kurang pada ibadah-ibadah fardhu, penghapus dosa, dan yang paling tinggi
ialah sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap Allah swt.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qohthoni, Sa'id bin
Ali. 2003. Sholat Al-Mu'min. Riyadh: Muassasah Al-Jarisi
As-Shobuni, M. Ali. 1981.
Shofwatu at Tafasir. Beirut: Dar al Quran al Karim.
At-Thobari, Ibnu Jarir.
1994. Jami' al Bayan. Beirut: Muassasah Arrisalah.
Fairuzzabadi, 1992.
Tanwir al-Miqbas. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.
Hadzami, M. Syafi'i.
2010. Taudhihul Adillah 4. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Ihsan, M. 'Amimul. 2003.
At Ta'rifat al Fiqhiyah. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah.
Sabiq, Sayid. Fiqh as
Sunnah. Kairo: Al Fath li al A'lam al 'Arobi.
Shihab, M. Quraiys. 2002.
Tafsir Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Sholeh,
M. 2012. Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit. Jakarta:
Naura.
Zuhaili, Wahbah. 2009. At-Tafsir
al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr.
[1] M. 'Amim Al Ihsan, At Ta'rifat Al
Fiqhiyah (Beirut: Darul Kutub al 'Ilmiyah, 2003) cet. 1, hlm. 129
[4]
Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud: Menyembuhkan Berbagai Penyakit,
(Jakarta: Naura, 2012), hlm. 105
[11] M. Qurays Shihab, Tafsir
al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002) jilid 7 hlm. 165, Wahbah Zuhaili, at
Tafsir al Munir, hlm. 152
[17] Fairuzzabadi, Tanwirul Miqbas (Beirut:
Dar al Kutub al Ilmiyah, 1992) hlm. 337; M. Ali as-Shobuni, Shofwatut
Tafasir, jilid 2, hlm. 251; Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, jilid 1,
hlm. 68
[21] http://library.islamweb.net/hadith/display_hbook.php?bk_no=765&hid=1006&pid=373199
dikunjungi pada 15 okt 2017 jam 08.48
[22] M.
Syafi'I Hadzami, Taudhihul Adillah 4, (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2010), hlm. 412; lihat juga, www.piss-ktb.com/2012/02/681-sholat-sholat-isyroq.html?m=1
diakses pada tanggal 30 Desember 2017 pukul 23.59
pdf download disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar