Senin, 08 Januari 2018

TAFSIR MAUDHU'I AQIDAH

TAFSIR MAUDLU'I AQIDAH
AL BAQOROH: 104-110
Oleh: Mohammad Amri Rosyadi

Ayat 104
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (104)
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan: Ro'ina, tetapi katakanlah: Undzurna. Dan dengarkanlah. Siksaan yang pedih bagi orang-orang kafir."
Ayat ini sangat kental dengan bahasan akidah, bagaimana tidak, dari semua kalimat dalam ayat tersebut merupakan topik-topik bahasan dalam tataran akidah.  Dimulai dari penyebutan iman, perintah-larangan dan balasan bagi orang musyrik.

Ciri Orang Mukmin
Seruan Allah dengan kata-kata "Hai orang-orang yang beriman" menunjukkan adanya sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Allah. Seperti halnya pengumuman-pengumuman yang ada di bandara atau di stasiun, yang mana calon penumpang hampir dipastikan akan dengan seksama untuk mendengarkannya. Kemudian melakukan instruksi yang telah disampaikan. Ini menunjukkan adanya kepercayaan bahwa yang disampaikan itu benar dan disampaikan langsung oleh petugas yang mengatur Maha mengetahui.

Hal ini seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa ayahnya pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas'ud, dan ia berkata, "Ajarilah aku". Ibnu Mas'ud menjawab, "Jika engkau mendengar Allah berfirman: Yaa ayyuha al-ladziina aamanuu, maka pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah sesuatu kebaikan yang diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya."
Tapi nyatanya keakhiratan masih belum terlihat pada diri kita yang masih lalai. Seperti analogi di atas, perintah seorang petugas di bandara kemungkinan lebih cepat direspon daripada perintah Allah. Astaghfirullaha al-'adzim.

Kedudukan Nabi di sisi Allah
Mengenai lafadh "ro'ina", secara makna tak ada yang salah dengan lafadh ini. Dalam tafsir al-munir disebutkan bahwa ro'ina merupakan bentuk perintah dari lafadh "muroo'aatun" yang mempunyai arti perhatian penuh. Sebelumnya juga para muslim memakai kata ini ketika berhadapan dengan penjelasan Nabi yang dianggap sulit untuk mereka pahami, sehingga mereka mengucapkan ro'ina (perhatikanlah keadaan kami). Hal ini berbeda dengan kaum Yahudi, dimana ro'ina versi mereka mengandung unsur makian atau cemoohan. Bukanlah perubahan dari lafadh muroo'aatun melainkan plesetan dari lafadh ru'uunatun yang mempunyai arti jahlun (bodoh) dan humqun (tolol).
Karena tidak terima kekasih-Nya dilecehkan, Allah pun menginstruksikan kepada para muslim untuk tidak memakai lafadh ro'ina lagi, melainkan diganti dengan lafadh undzurna, yang mempunyai arti yang sama.
Hal ini bukan hanya masalah tasyabbuh, tapi lebih dari itu. Kasus ini menunjukkan betapa cintanya Allah kepada Nabi-Nya. Dan betapa tingginya kedudukan Nabi Muhammad Saw. di sisi Allah Swt. Seperti yang kita tahu… laulaka laulaka laulaka ya Muhammad.
Saking pentingnya dan betapa Allah tidak main-main dengan perintah ini sampai-sampai melanjutkan ayat-Nya dengan ta'bir "wa isma'uu" "wa lilkafiriina 'adzaabun aliim". Dengarkanlah wahai orang yang beriman, kalimat bodoh dan tolol itu sangat tidak beradab disandangkan terhadap Nabi. Dan barang siapa yang mengabaikan dianggap kafir, karena ucapan itu menunjukkan pengingkarannya terhadap kenabian Nabi Muhammad Saw.
 "wa lilkafiriina 'adzaabun aliim" dan siksaan yang pedih adalah sesuatu ketetapan bagi mereka.

Ayat 105

مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (105)
"orang-orang kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak senang dengan diturunkannya sedikit kebaikan (pun) kepada kamu dari Tuhan kamu. Allah mengkhususkan siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Pemilik karunia yang agung."

Kata yawaddu dalam tafsir at-Thobari berarti yuhibbu, yang keduanya mempunyai makna yang sama, yakni mencintai atau menyukai. Pemakaian kata yawaddu disini lebih dipilih dari pada lafadh yuhibbu, karena lafadh yuhibbu yang merupakan kecenderungan rasa suka yang tumbuh dari naluri manusia saja. Sedangkan yawaddu, adalah rasa suka yang diberikan oleh Allah sesuai dengan kehendaknya otomatis rasa dalam kalimat yawaddu lebih mendalam. Jadi yawaddu lebih khusus daripada yuhibbu.
Kembali ke penjelasan ayat, bukanlah suatu ketidakpercayaan yang menghalangi mereka untuk iman terhadap Nabi Muhammad Saw. siapa yang tidak mengenal Muhammad, yang merupakan keturunan orang terpandang dan yang sejak kecil terkenal dengan sifat amanahnya. Melainkan, memang Allah tidak berkehendak memberikan mereka petunjuk dengan rasa mawaddah, yakni cinta yang murni. Ini sesuai dengan firman Allah yang lain,
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
"Allah memberikan petunjuk kepada yang dikehendaki."
Kalimat berikutnya, وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ, Allah mengkhususkan atau menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Kebencian mereka kepada nabi Muhammad, bagi mereka adalah sebagai upaya untuk mempengaruhi dakwah nabi. Menurut mereka, dengan adanya kebencian mereka, paling tidak dakwah nabi kepada kaumnya yang juga masih kerabat orang-orang kafir bisa sedikit longgar bahkan kalau bisa nabi mau menghentikan dakwahnya.
Masalahnya, mereka—orang kafir—tidak bisa ikut campur dalam dalam urusan yang sudah dikehendaki oleh Allah. Islam akan ada dalam diri kerabat-kerabat orang kafir, bahkan orang kafir itu sendiri yang akan tunduk dan akan membela Islam dan lebih-lebih Islam akan menguasai dunia. Sekali lagi, kebencian dan kedengkian mereka terhadap para mukmin tidak akan memberikan dampak seperti yang mereka ingin atur.

Ayat 106-107

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106) أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (107)
"Kami tidak menasakhkan satu ayat pun, atau Kami menangguhkan (hukum) nya (kecuali) Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu? Tiadakah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah? Dan tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu penolong."
Dalam suatu kaidah menyebutkan, jika tidak diawali huruf wawu maka ayat tersebut masih berkaitan dengan ayat sebelumnya. Meminjam istilah Quraiys Shihab, belum beralih pada masalah yang lain. Artinya, ayat ini masih menjelaskan orang-orang Yahudi. Diayat sebelumnya yang menjelaskan tentang ketidakbolehan mengucapkan ro'ina dan diganti dengan lafadh undzurna, membuat orang Yahudi dan kaum musyrik mendapatkan celah untuk melecehkan al-Quran. Dan melemahkan Muhammad di depan umatnya.
Pernah suatu saat, mereka mengatakan, "apakah kalian melihat kelakuan Muhammad? Dia memerintah Shahabatnya terhadap perkara, tapi kemudian ia melarang dan memerintahkan sesuatu yang kebalikannya. Tidak ada al-Quran melainkan hanya ucapannya saja, Dia seenaknya kalau ngomong, sehingga berlawanan antara satu dengan yang lain." Mereka mencotohkan kasus hukuman orang zina. Akhirnya Allah menurunkan QS. An-Nahl: 101,
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ….
Dan ayat ini, al-Baqoroh: 106, sebagai bantahan atas mereka tentang suatu penasakhan atas suatu ayat.

Keagungan Dzat dibalik Nasakh
Semua kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi-Nya, mempunyai isi yang sama yakni keimanan kepada Allah dan juga keterangan tentang cara hidup yang baik. Sebagai seorang mukmin—mukmin pra islam—harusnya mau mengikuti nabi yang datang setelah nabinya. Mereka harus berpindah dari suatu kebaikan ke kebaikan yang lain, karena risalah yang dibawa oleh nabi setelahnya itu masih sama dengan risalah yang dibawa oleh nabinya. Masih sama-sama memerintahkan iman kepada Allah. Begitu juga dalam hal tuntunan hidup, mereka harusnya tahu, bahwa kehidupan ini berkembang sesuai dengan zamannya. Tidak mungkin menghadapi masalah yang baru dengan tuntunan yang lama.
Dengan demikian, agar bisa mengatasi masalah yang pada zaman berikutnya, manusia harus ikut dan masuk pada ajaran yang ada setelahnya. Dalam hal ini adalah Islam. Karena Islam sebagai agama penutup otomatis ajaran yang terkandung didalamnya lebih sempurna. Ajarannya tidak dapat dirubah ataupun diganti dengan ajaran yang lain sampai hari Kiyamat.
Al-Quran merupakan sumber primer ajaran islam baik syariat, akidah maupun akhlak yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia, semua dalil disandarkan pada al-Quran. Kevalidannya tidak diragukan sejak ia diturunkan, tidak ada suatu kecacatan didalamnya. Kesempurnaannya menunjukkan siapa pembuatnya, asli langsung dari Allah. Tidak ada suatu penghapusan atau revisi hukum, kecuali Allah mendatangkan yang lebih baik, lebih mudah, dan lebih cocok dengan keadaan yang ada. Permasalahan nasakh bukanlah masalah yang besar, jangankan menghapus dan mendatangkan yang sepadan dengannya, bahkan Allah lebih bisa lagi mendatangkan yang sejenis al-Quran lagi.
Mengenai bahasan nasakh, dalam tafsir syekh Mutawalli al-Sya'rowi menyebutkan bahwa ada dua perkara yang tidak berlaku dalam hal nasakh-mansukh. Pertama, ayat-ayat yang berkaitan dengan ketauhidan atau keimanan. Dimulai sejak nabi Adam sampai nabi Muhammad ajaran tauhid tidak pernah berubah, yakni tetap pada ajaran mengesakan Allah swt. Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan sejarah atau cerita-cerita tentang kaum terdahulu. Karena sejarah yang tercantum dalam kitab-kitab Allah merupakan suatu kenyataan yang pantang bagi Allah untuk mengubahnya. Bukan seperti para manusia, yang sukanya merubah sejarah demi nama besarnya, demi langgengnya ajarannya, dll.
Dalam potongan ayat selanjutnya, Allah menanggapi masalah nasakh-mansukh dengan mengajukan pertanyaan kepada Nabi dan para umatnya. Secara tersirat mungkin, apakah kalian meragukan kemampuan Ku? Bukankah Aku kuasa atas segala sesuatu? Bukankah langit dan bumi adalah milikku dan Aku adalah rajanya? Dengan demikian, jawaban kita atas pertanyaan Allah itu sebagai pertaruhan keimanan kita kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya.
Tidak ada yang sulit bagi Allah, bumi, langit dan isinya adalah milik-Nya. Dia yang mengatur, mengendalikan dan melakukan apa saja sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya.

Ayat 108

أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ (108)
"Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rosul kamu seperti dahulu Musa telah dimintai? Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan tengah."

Dalam ayat tersebut, Allah menanyakan kepada umat Muhammad, apakah mereka hendak meminta atau mempertanyakan kepada Rasul mereka seperti yang telah Yahudi lakukan terhadap Rasulnya, yakni Musa. Pertanyaan ini menyiratkan adanya ketidakberesan atas hal yang diminta oleh mereka. seperti yang disebutkan dalam QS. Al-A'rof: 138, yaitu keinginan mereka menambah Tuhan (berhala) di sisi Allah dan diayat lain tentang keinginan mereka untuk melihat wujud Allah. Ini merupakan bentuk penistaan, meremehkan wujud Allah.

Objek Keimanan
Objek keimanan rata-rata bentuknya abstrak, hal yang abstrak tidak bisa diterima dengan mata kepala biasa, tapi dengan rasa, mata hati, atau bashiroh. Kita ambil contoh pada kehidupan sehari-hari, seperti lukisan abstrak, kebanyakan orang akan menganggap lukisan itu jelek, tidak ada maksud, ini karena ia memahaminya cuma ala kadarnya. Lukisan abstrak tersebut tidak akan bisa dipahami dengan mata biasa, melainkan harus ada rasa yang ikut menilai. Hal ini masih berhubungan suatu di dunia yang sifatnya hanya kefanaan. Dan bagaimana dengan wujud Allah dan objek keimanan yang lain, yang sifatnya jauh dari kata duniawi.
Ini menunjukkan kemampuan daya indera kita terbatas. Dan juga bukan hanya itu, keghoiban wujud objek iman sebagai rintangan atau ujian kita, sejauh mana keimanan kita kepada Allah swt dan objek keimanan yang lain. Mengutip tulisan Quraiys Shihab, objek keimanan harus dilihat dengan mata hati, bukan dengan mata kepala. Barangsiapa yang memaksakan bahwa objek keimanan harus bisa diterima dengan mata kepala, maka sesungguhnya ia telah menukarkan keimanannya dengan kekafiran.

Ayat 109

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (109)
"Banyak diantara Ahlu al-Kitab menginginkan seandainya mereka dapat mengembalikan kamu setelah keimanan kamu kepada kekafiran karena iri hati yang (timbul) dari dalam diri mereka, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkan dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."

Dalam ayat tersebut, orang-orang ahli kitab, Yahudi ataupun Nasrani benar-benar mengharapkan kemurtadan orang-orang muslim. Mereka ingin mengembalikan para muslim ke jalan mereka, yakni jalan kekafiran. Berbagai cara mereka lakukan, seperti mendebat nabi, mengolok-olok, bahkan mempermalukan Nabi. yang penting bagaimana caranya agar para muslim ragu dengan kenabiannya. Padahal mereka sendiri tahu siapa Muhammad, seperti yang tercantum dalam kitab-kitab mereka.
Seperti disebutkan pada penjelasan ayat sebelumnya, pengingkaran mereka terhadap nabi Muhammad bukan karena apa-apa, tapi mereka belum bisa menerima jika Nabi yang terakhir adalah bukan golongan mereka. Mereka iri, "kok bisa?" kata mereka. karena mereka menganggap bahwa selama ini mereka adalah bangsa yang unggul, dibandingkan umat yang lain. Seperti yang tercantum dalam Q.S. Al- Baqoroh: 47 dan 122.
يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
"Wahai Bani Isroil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat lain di alam ini."
Q.S. Al-Maidah: 20
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (20)
"Dan (ingatlah) ketika Musa berkata pada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain." 
Q.S. Ad-Dukhon: 32
وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ (32)
"Dan sesungguhnya telah Kami pilih mereka (Bani Israil) dengan pengetahuan (Kami) atas umat-umat yang lain."
Jadi, menurut mereka, Nabi yang terakhir itu harusnya dari golongan mereka. Bukan dari golongan yang bagi mereka berapa level dibawahnya.

Ayat 110

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (110)
"Laksanakanlah shalat (secara berkesinambungan) dan tunaikanlah zakat (dengan sempurna). Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan untuk diri kamu, pasti kamu akan mendapatkannya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Pengaplikasian Keimanan
Ada banyak sekali term aqimu as-Sholah wa atu az-Zakah dengan berbagai turunannya dalam al-Quran. Bukan berarti yang lain, seperti puasa dan haji yang tidak terlalu banyak dijumpai seperti dua lafadh sebelumnya dianggap tidak penting. Tetapi dengan memakai term aqimu as-Sholah wa atu az-Zakah Allah hanya menekankan bahwa semua bentuk ibadah sejatinya mengandung unsur hubungan vertikal dan horizontal
Sholat dan zakat merupakan salah satu bentuk pengaplikasian sebuah keimanan. Bentuk penghambaan seorang hamba ialah dengan beribadah kepada sang Majikan, yakni Allah swt. seseorang yang mengaku beriman harus menunjukkan keimanannya dengan syariah yaitu beribadah kepada Allah yang digambarkan dengan Shalat dan bermuamalah yang baik dengan sesama manusia dan alam sekitar yang digambarkan dengan zakat.

Dalam potongan ayat selanjutnya, "Dan kebaikan apa saja yang kamu kerjakan untuk diri kamu, pasti kamu akan mendapatkannya disisi Allah." Semua bentuk kebaikan sama Allah diberikan nilai bahkan yang masih berupa niat saja Allah kasih nilai. Berbeda dengan kejelekan, ketika masih niat Allah tidak menilainya langsung sebelum dia benar-benar melakukakannya. Betapa sayangnya Allah kepada hamba-Nya, ar-Rahman ar-Rahim, Allah masih tetap menunggu dan mengharap hamba-Nya sadar, taubat, dan tidak melakukan kejelekan tersebut. Berbeda dengan makhluk-Nya, terkadang sangat mengharapkan sesamanya melakukan kesalahan, dan akhirnya jatuh. Apalagi seseorang yang di rasa akan menjadi saingannya, astaghfirullah. Semua tidak ada dalam diri Allah, Allah suci dari semua itu. Allah benar-benar menginginkan semua hamba kembali padanya dalam keadaan suci juga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar