TAFSIR MAUDLU'I AQIDAH
AL BAQOROH: 104-110
Oleh: Mohammad
Amri Rosyadi
Ayat 104
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا
انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (104)
"Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian katakan: Ro'ina, tetapi katakanlah: Undzurna.
Dan dengarkanlah. Siksaan yang pedih bagi orang-orang kafir."
Ayat ini sangat kental dengan bahasan akidah, bagaimana tidak, dari
semua kalimat dalam ayat tersebut merupakan topik-topik bahasan dalam tataran
akidah. Dimulai dari penyebutan iman,
perintah-larangan dan balasan bagi orang musyrik.
Ciri Orang Mukmin
Seruan Allah dengan kata-kata "Hai orang-orang yang
beriman" menunjukkan adanya sesuatu yang penting yang akan disampaikan
oleh Allah. Seperti halnya pengumuman-pengumuman yang ada di bandara atau di
stasiun, yang mana calon penumpang hampir dipastikan akan dengan seksama untuk
mendengarkannya. Kemudian melakukan instruksi yang telah disampaikan. Ini
menunjukkan adanya kepercayaan bahwa yang disampaikan itu benar dan disampaikan
langsung oleh petugas yang mengatur Maha mengetahui.
Hal ini seperti yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa
ayahnya pernah bercerita kepadaku, ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas'ud,
dan ia berkata, "Ajarilah aku". Ibnu Mas'ud menjawab, "Jika
engkau mendengar Allah berfirman: Yaa ayyuha al-ladziina aamanuu, maka
pasanglah pendengaranmu baik-baik, karena itu adalah sesuatu kebaikan yang
diperintahkan-Nya atau keburukan yang dilarang-Nya."
Tapi nyatanya keakhiratan masih belum terlihat pada diri kita yang
masih lalai. Seperti analogi di atas, perintah seorang petugas di bandara
kemungkinan lebih cepat direspon daripada perintah Allah. Astaghfirullaha
al-'adzim.
Kedudukan Nabi di sisi Allah
Mengenai lafadh "ro'ina", secara makna tak ada
yang salah dengan lafadh ini. Dalam tafsir al-munir disebutkan bahwa ro'ina
merupakan bentuk perintah dari lafadh "muroo'aatun" yang mempunyai
arti perhatian penuh. Sebelumnya juga para muslim memakai kata ini ketika
berhadapan dengan penjelasan Nabi yang dianggap sulit untuk mereka pahami,
sehingga mereka mengucapkan ro'ina (perhatikanlah keadaan kami). Hal ini
berbeda dengan kaum Yahudi, dimana ro'ina versi mereka mengandung unsur makian
atau cemoohan. Bukanlah perubahan dari lafadh muroo'aatun melainkan plesetan
dari lafadh ru'uunatun yang mempunyai arti jahlun (bodoh) dan humqun (tolol).
Karena tidak terima kekasih-Nya dilecehkan, Allah pun menginstruksikan
kepada para muslim untuk tidak memakai lafadh ro'ina lagi, melainkan diganti
dengan lafadh undzurna, yang mempunyai arti yang sama.
Hal ini bukan hanya masalah tasyabbuh, tapi lebih dari itu. Kasus
ini menunjukkan betapa cintanya Allah kepada Nabi-Nya. Dan betapa tingginya
kedudukan Nabi Muhammad Saw. di sisi Allah Swt. Seperti yang kita tahu… laulaka
laulaka laulaka ya Muhammad.
Saking pentingnya dan betapa Allah tidak main-main dengan perintah
ini sampai-sampai melanjutkan ayat-Nya dengan ta'bir "wa isma'uu"
"wa lilkafiriina 'adzaabun aliim". Dengarkanlah wahai orang
yang beriman, kalimat bodoh dan tolol itu sangat tidak beradab disandangkan
terhadap Nabi. Dan barang siapa yang mengabaikan dianggap kafir, karena ucapan
itu menunjukkan pengingkarannya terhadap kenabian Nabi Muhammad Saw.
"wa lilkafiriina
'adzaabun aliim" dan siksaan yang pedih adalah sesuatu ketetapan bagi
mereka.
Ayat 105
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا
الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَاللَّهُ
يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ (105)
"orang-orang kafir
dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tidak senang dengan diturunkannya
sedikit kebaikan (pun) kepada kamu dari Tuhan kamu. Allah mengkhususkan siapa
yang dikehendaki-Nya dan Allah Pemilik karunia yang agung."
Kata yawaddu dalam tafsir at-Thobari berarti yuhibbu,
yang keduanya mempunyai makna yang sama, yakni mencintai atau menyukai.
Pemakaian kata yawaddu disini lebih dipilih dari pada lafadh yuhibbu,
karena lafadh yuhibbu yang merupakan kecenderungan rasa suka yang
tumbuh dari naluri manusia saja. Sedangkan yawaddu, adalah rasa suka
yang diberikan oleh Allah sesuai dengan kehendaknya otomatis rasa dalam kalimat
yawaddu lebih mendalam. Jadi yawaddu lebih khusus daripada yuhibbu.
Kembali ke penjelasan ayat, bukanlah suatu ketidakpercayaan yang
menghalangi mereka untuk iman terhadap Nabi Muhammad Saw. siapa yang tidak
mengenal Muhammad, yang merupakan keturunan orang terpandang dan yang sejak
kecil terkenal dengan sifat amanahnya. Melainkan, memang Allah tidak
berkehendak memberikan mereka petunjuk dengan rasa mawaddah, yakni cinta yang
murni. Ini sesuai dengan firman Allah yang lain,
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
"Allah memberikan petunjuk kepada yang dikehendaki."
Kalimat berikutnya, وَاللَّهُ يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ, Allah mengkhususkan atau menentukan rahmat-Nya kepada siapa
yang dikehendaki-Nya.
Kebencian mereka kepada nabi Muhammad, bagi mereka adalah sebagai
upaya untuk mempengaruhi dakwah nabi. Menurut mereka, dengan adanya kebencian
mereka, paling tidak dakwah nabi kepada kaumnya yang juga masih kerabat
orang-orang kafir bisa sedikit longgar bahkan kalau bisa nabi mau menghentikan
dakwahnya.
Masalahnya, mereka—orang kafir—tidak bisa ikut campur dalam dalam
urusan yang sudah dikehendaki oleh Allah. Islam akan ada dalam diri
kerabat-kerabat orang kafir, bahkan orang kafir itu sendiri yang akan tunduk
dan akan membela Islam dan lebih-lebih Islam akan menguasai dunia. Sekali lagi,
kebencian dan kedengkian mereka terhadap para mukmin tidak akan memberikan
dampak seperti yang mereka ingin atur.
Ayat 106-107
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ
مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (106) أَلَمْ
تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا لَكُمْ مِنْ
دُونِ اللَّهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ (107)
"Kami tidak
menasakhkan satu ayat pun, atau Kami menangguhkan (hukum) nya (kecuali) Kami
datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah
engkau mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?
Tiadakah engkau mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah?
Dan tiada bagimu selain Allah satu pelindung maupun satu penolong."
Dalam suatu kaidah menyebutkan, jika tidak diawali huruf wawu maka
ayat tersebut masih berkaitan dengan ayat sebelumnya. Meminjam istilah Quraiys
Shihab, belum beralih pada masalah yang lain. Artinya, ayat ini masih
menjelaskan orang-orang Yahudi. Diayat sebelumnya yang menjelaskan tentang
ketidakbolehan mengucapkan ro'ina dan diganti dengan lafadh undzurna,
membuat orang Yahudi dan kaum musyrik mendapatkan celah untuk melecehkan
al-Quran. Dan melemahkan Muhammad di depan umatnya.
Pernah suatu saat, mereka mengatakan, "apakah kalian
melihat kelakuan Muhammad? Dia memerintah Shahabatnya terhadap perkara, tapi
kemudian ia melarang dan memerintahkan sesuatu yang kebalikannya. Tidak ada
al-Quran melainkan hanya ucapannya saja, Dia seenaknya kalau ngomong, sehingga
berlawanan antara satu dengan yang lain." Mereka mencotohkan kasus
hukuman orang zina. Akhirnya Allah menurunkan QS. An-Nahl: 101,
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ….
Dan ayat ini, al-Baqoroh: 106, sebagai bantahan atas mereka tentang
suatu penasakhan atas suatu ayat.
Keagungan Dzat dibalik Nasakh
Semua kitab yang diturunkan Allah kepada para nabi-Nya, mempunyai
isi yang sama yakni keimanan kepada Allah dan juga keterangan tentang cara
hidup yang baik. Sebagai seorang mukmin—mukmin pra islam—harusnya mau mengikuti
nabi yang datang setelah nabinya. Mereka harus berpindah dari suatu kebaikan ke
kebaikan yang lain, karena risalah yang dibawa oleh nabi setelahnya itu masih
sama dengan risalah yang dibawa oleh nabinya. Masih sama-sama memerintahkan
iman kepada Allah. Begitu juga dalam hal tuntunan hidup, mereka harusnya tahu,
bahwa kehidupan ini berkembang sesuai dengan zamannya. Tidak mungkin menghadapi
masalah yang baru dengan tuntunan yang lama.
Dengan demikian, agar bisa mengatasi masalah yang pada zaman
berikutnya, manusia harus ikut dan masuk pada ajaran yang ada setelahnya. Dalam
hal ini adalah Islam. Karena Islam sebagai agama penutup otomatis ajaran yang
terkandung didalamnya lebih sempurna. Ajarannya tidak dapat dirubah ataupun
diganti dengan ajaran yang lain sampai hari Kiyamat.
Al-Quran merupakan sumber primer ajaran islam baik syariat, akidah
maupun akhlak yang harus diimani dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia,
semua dalil disandarkan pada al-Quran. Kevalidannya tidak diragukan sejak ia
diturunkan, tidak ada suatu kecacatan didalamnya. Kesempurnaannya menunjukkan
siapa pembuatnya, asli langsung dari Allah. Tidak ada suatu penghapusan atau
revisi hukum, kecuali Allah mendatangkan yang lebih baik, lebih mudah, dan
lebih cocok dengan keadaan yang ada. Permasalahan nasakh bukanlah masalah yang
besar, jangankan menghapus dan mendatangkan yang sepadan dengannya, bahkan
Allah lebih bisa lagi mendatangkan yang sejenis al-Quran lagi.
Mengenai bahasan nasakh, dalam tafsir syekh Mutawalli al-Sya'rowi
menyebutkan bahwa ada dua perkara yang tidak berlaku dalam hal nasakh-mansukh. Pertama,
ayat-ayat yang berkaitan dengan ketauhidan atau keimanan. Dimulai sejak nabi
Adam sampai nabi Muhammad ajaran tauhid tidak pernah berubah, yakni tetap pada
ajaran mengesakan Allah swt. Kedua, ayat-ayat yang berkaitan dengan sejarah
atau cerita-cerita tentang kaum terdahulu. Karena sejarah yang tercantum dalam
kitab-kitab Allah merupakan suatu kenyataan yang pantang bagi Allah untuk
mengubahnya. Bukan seperti para manusia, yang sukanya merubah sejarah demi nama
besarnya, demi langgengnya ajarannya, dll.
Dalam potongan ayat selanjutnya, Allah menanggapi masalah
nasakh-mansukh dengan mengajukan pertanyaan kepada Nabi dan para umatnya.
Secara tersirat mungkin, apakah kalian meragukan kemampuan Ku? Bukankah Aku
kuasa atas segala sesuatu? Bukankah langit dan bumi adalah milikku dan Aku
adalah rajanya? Dengan demikian, jawaban kita atas pertanyaan Allah itu sebagai
pertaruhan keimanan kita kepada Allah dengan segala sifat-sifat-Nya.
Tidak ada yang sulit bagi Allah, bumi, langit dan isinya adalah
milik-Nya. Dia yang mengatur, mengendalikan dan melakukan apa saja sesuai
dengan hikmah kebijaksanaan-Nya.
Ayat 108
أَمْ تُرِيدُونَ أَنْ تَسْأَلُوا رَسُولَكُمْ كَمَا سُئِلَ مُوسَى
مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ
السَّبِيلِ (108)
"Apakah kamu
menghendaki untuk meminta kepada Rosul kamu seperti dahulu Musa telah dimintai?
Dan barang siapa yang menukar iman dengan kekafiran, maka sungguh orang itu
telah sesat dari jalan tengah."
Dalam ayat tersebut, Allah menanyakan kepada umat Muhammad, apakah
mereka hendak meminta atau mempertanyakan kepada Rasul mereka seperti yang
telah Yahudi lakukan terhadap Rasulnya, yakni Musa. Pertanyaan ini menyiratkan
adanya ketidakberesan atas hal yang diminta oleh mereka. seperti yang
disebutkan dalam QS. Al-A'rof: 138, yaitu keinginan mereka menambah Tuhan
(berhala) di sisi Allah dan diayat lain tentang keinginan mereka untuk melihat
wujud Allah. Ini merupakan bentuk penistaan, meremehkan wujud Allah.
Objek Keimanan
Objek keimanan rata-rata bentuknya abstrak, hal yang abstrak tidak
bisa diterima dengan mata kepala biasa, tapi dengan rasa, mata hati, atau bashiroh.
Kita ambil contoh pada kehidupan sehari-hari, seperti lukisan abstrak,
kebanyakan orang akan menganggap lukisan itu jelek, tidak ada maksud, ini
karena ia memahaminya cuma ala kadarnya. Lukisan abstrak tersebut tidak akan
bisa dipahami dengan mata biasa, melainkan harus ada rasa yang ikut menilai.
Hal ini masih berhubungan suatu di dunia yang sifatnya hanya kefanaan. Dan
bagaimana dengan wujud Allah dan objek keimanan yang lain, yang sifatnya jauh
dari kata duniawi.
Ini menunjukkan kemampuan daya indera kita terbatas. Dan juga bukan
hanya itu, keghoiban wujud objek iman sebagai rintangan atau ujian kita, sejauh
mana keimanan kita kepada Allah swt dan objek keimanan yang lain. Mengutip
tulisan Quraiys Shihab, objek keimanan harus dilihat dengan mata hati, bukan
dengan mata kepala. Barangsiapa yang memaksakan bahwa objek keimanan harus bisa
diterima dengan mata kepala, maka sesungguhnya ia telah menukarkan keimanannya
dengan kekafiran.
Ayat 109
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ
بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ
بِأَمْرِهِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (109)
"Banyak diantara
Ahlu al-Kitab menginginkan seandainya mereka dapat mengembalikan kamu setelah
keimanan kamu kepada kekafiran karena iri hati yang (timbul) dari dalam diri
mereka, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkan dan biarkanlah mereka
sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas
segala sesuatu."
Dalam ayat tersebut, orang-orang ahli kitab, Yahudi ataupun Nasrani
benar-benar mengharapkan kemurtadan orang-orang muslim. Mereka ingin
mengembalikan para muslim ke jalan mereka, yakni jalan kekafiran. Berbagai cara
mereka lakukan, seperti mendebat nabi, mengolok-olok, bahkan mempermalukan
Nabi. yang penting bagaimana caranya agar para muslim ragu dengan kenabiannya.
Padahal mereka sendiri tahu siapa Muhammad, seperti yang tercantum dalam
kitab-kitab mereka.
Seperti disebutkan pada penjelasan ayat sebelumnya, pengingkaran
mereka terhadap nabi Muhammad bukan karena apa-apa, tapi mereka belum bisa
menerima jika Nabi yang terakhir adalah bukan golongan mereka. Mereka iri,
"kok bisa?" kata mereka. karena mereka menganggap bahwa selama ini
mereka adalah bangsa yang unggul, dibandingkan umat yang lain. Seperti yang
tercantum dalam Q.S. Al- Baqoroh: 47 dan 122.
يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ
عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
"Wahai Bani Isroil! Ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku berikan
kepadamu dan Aku telah melebihkan kamu dari semua umat lain di alam ini."
Q.S. Al-Maidah: 20
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ
اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا
وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (20)
"Dan
(ingatlah) ketika Musa berkata pada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat
Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi-nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu
orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah
diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain."
Q.S. Ad-Dukhon: 32
وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ (32)
"Dan sesungguhnya
telah Kami pilih mereka (Bani Israil) dengan pengetahuan (Kami) atas umat-umat
yang lain."
Jadi, menurut mereka, Nabi yang terakhir itu harusnya dari golongan
mereka. Bukan dari golongan yang bagi mereka berapa level dibawahnya.
Ayat 110
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَمَا تُقَدِّمُوا
لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (110)
"Laksanakanlah
shalat (secara berkesinambungan) dan tunaikanlah zakat (dengan sempurna). Dan kebaikan
apa saja yang kamu usahakan untuk diri kamu, pasti kamu akan mendapatkannya di
sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."
Pengaplikasian Keimanan
Ada banyak sekali term aqimu as-Sholah wa atu az-Zakah
dengan berbagai turunannya dalam al-Quran. Bukan berarti yang lain, seperti
puasa dan haji yang tidak terlalu banyak dijumpai seperti dua lafadh sebelumnya
dianggap tidak penting. Tetapi dengan memakai term aqimu as-Sholah wa atu
az-Zakah Allah hanya menekankan bahwa semua bentuk ibadah sejatinya
mengandung unsur hubungan vertikal dan horizontal
Sholat dan zakat merupakan salah satu bentuk pengaplikasian sebuah
keimanan. Bentuk penghambaan seorang hamba ialah dengan beribadah kepada sang
Majikan, yakni Allah swt. seseorang yang mengaku beriman harus menunjukkan
keimanannya dengan syariah yaitu beribadah kepada Allah yang digambarkan dengan
Shalat dan bermuamalah yang baik dengan sesama manusia dan alam sekitar yang
digambarkan dengan zakat.
Dalam potongan ayat selanjutnya, "Dan kebaikan apa saja
yang kamu kerjakan untuk diri kamu, pasti kamu akan mendapatkannya disisi Allah."
Semua bentuk kebaikan sama Allah diberikan nilai bahkan yang masih berupa niat
saja Allah kasih nilai. Berbeda dengan kejelekan, ketika masih niat Allah tidak
menilainya langsung sebelum dia benar-benar melakukakannya. Betapa sayangnya
Allah kepada hamba-Nya, ar-Rahman ar-Rahim, Allah masih tetap menunggu
dan mengharap hamba-Nya sadar, taubat, dan tidak melakukan kejelekan tersebut. Berbeda
dengan makhluk-Nya, terkadang sangat mengharapkan sesamanya melakukan
kesalahan, dan akhirnya jatuh. Apalagi seseorang yang di rasa akan menjadi
saingannya, astaghfirullah. Semua tidak ada dalam diri Allah, Allah suci
dari semua itu. Allah benar-benar menginginkan semua hamba kembali padanya
dalam keadaan suci juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar