PENDAHULUAN
Asbabun
nuzul merupakan salah satu dari sekian alat untuk memahami dengan benar dan
mengambil suatu keputusan yang tepat tentang suatu ayat. Karena terkadang
terdapat suatu ayat yang untuk memahaminya harus dikaitkan dengan sebab
turunnya agar tidak salah dalam memahami ayat, istilah yang sering kita dengar
yakni, agar tidak terjadi pemerkosaan ayat.
Pada makalah
ini akan membahas asbabun nuzul QS. Al-Nur ayat 23, yang berisi tentang ancaman
kepada mereka yang melakukan qadzaf. Qadzaf secara bahasa adalah
melempar kemudian maknanya beralih menjadi menghina atau mengutuk. Sedangkan
secara istilah, melemparkan tuduhan yang tertentu artinya menuduh orang lain
melakukan zina.[1] Dalam ayat ini, terdapat beberapa
redaksi asbabun nuzul yang mengakibatkan perbedaan pendapat tentang siapa objek
tuduhannya yang mempengaruhi berlaku tidaknya ancaman dalam ayat tersebut
terhadap penuduh.
Dalam
makalah ini, kami mencoba memahami ayat tersebut dengan memakai kaidah al-'Ibroh
bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafdhi dan kebalikannya al-'ibroh bi
'umumi al-lafdhi la bi khususi al-sabab. Dengan tujuan masih relevankah
ayat ini dipahami tanpa mengacu pada asbabun nuzul.
PEMBAHASAN
Q.S.
AN-NUR: 23
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ
الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم
"Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lugu lagi beriman (berbuat
zina), mereka terlaknati di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka adzab yang
besar."
Asbabun
nuzul
Pada ayat ini, yakni QS. Al-Nur: 23,
ada beberapa hadist atau redaksi asbabun nuzul yang berkaitan dengannya, antara
lain.[2]
أخرج الطبراني عن الضحّاك
بن مزاحم قال: نزلت هذه الآية في نساء النبي صلّى الله عليه وسلم خاصة: إِنَّ
الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الآية.
Imam Al- Thabrani meriwayatkan dari al-Dhahak bin Muzahim, ia
berkata: ayat ini diturunkan secara khusus mengenai wanita-wanita Nabi saw.
"Inna al-ladzina yarmuna al-muhshonati al-ghofilati," QS. Al-Nur: 23.
وأخرج ابن أبي حاتم عن ابن
عباس قال: نزلت هذه الآية في عائشة خاصة.
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Ayat ini diturunkan hanya berkaitan
dengan 'Aisyah secara khusus.
وأخرج ابن جرير عن عائشة
قالت: رميت بما رميت به، وأنا غافلة، فبلغني بعد ذلك، فبينا رسول الله صلّى الله
عليه وسلم عندي إذ أوحي إليه، ثم استوى جالسا، فمسح وجهه وقال: يا عائشة، أبشري،
فقلت: بحمد الله، لا بحمدك، فقرأ: إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ
الْغافِلاتِ الْمُؤْمِناتِ حتى بلغ أُولئِكَ مُبَرَّؤُنَ مِمَّا يَقُولُونَ.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari 'Aisyah, Ia berkata,
"Saya pernah dituduh berzina,
dan saya tidak menyadarinya, lalu berita itu sampai kepadaku. Dan ketika
Rasulullah berada bersamaku, tiba-tiba beliau menerima wahyu, kemudian beliau
duduk tegak sambal mengusap wajahnya. Kemudian beliau bersabda,
"Bergembiralah wahai 'Aisyah" Saya pun menjawab, " Saya memuji
Allah, tidak kepadamu." Lalu Nabi
membacakan firman-Nya, " إِنَّ
الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الْمُؤْمِناتِ” sampai ayat ” أُولئِكَ مُبَرَّؤُنَ مِمَّا يَقُولُونَ "
Tafsir Ayat
Sesungguhnya
sangat tidak
pantas sekali dan bahkan keterlaluan orang-orang yang melemparkan suatu
tuduhan zina terhadap wanita yang baik-baik, yakni seorang wanita yang
selalu menjaga kehormatannya dan melindungi kesuciannya yang lugu dari
pikiran-pikiran untuk berbuat suatu kesia-siaan dan keburukan ditambah
lagi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka terlaknati di dunia dan
di akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar.[3]
Ayat ini
merupakan ancaman untuk mereka yang menuduh wanita-wanita mukmin melakukan
suatu perzinaan. Ada beberapa pendapat dari para 'Ulama mengenai siapa yang
dimaksud wanita-wanita mukmin itu. Wanita-wanita itu antara lain.
1.
Sayyidah
'Aisyah
2.
Semua wanita-wanita
Nabi Muhammad saw.
3.
Wanita-wanita
mukmin secara umum.
Menurut
redaksi asbabun nuzul diatas ayat—seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas—ini
merupakan reaksi secara khusus atas tuduhan orang-orang munafikin terhadap
Sayyidah 'Aisyah yang dianggap selingkuh dengan Shofwan bin Mu'athal[4]. Jika ayat ini dipahami memakai
kaidah al-'Ibroh bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafdhi, maka ayat
ini merupakan pujian dan sebagai pembelaan Allah kepada Sayyidah 'Aisyah.
Betapa mulianya 'Aisyah yang secara langsung mendapatkan pembelaan dari Allah
swt. Kalau boleh dibahasakan, bagaimana mungkin wanita seperti 'Aisyah yang
selalu menjaga kehormatannya, wanita yang lugu dan polos dari pikiran-pikiran
kotor, dan lagi dia adalah wanita yang beriman berbuat zina. Jadi seakan-akan
bentuk ancaman di atas hanya berlaku jika menuduh Sayyidah 'Aisyah saja. Dan barang
siapa yang menentang setelah turunnya ayat ini dianggap kafir, karena menentang
al-Quran.[5]
Berbeda
dengan yang di atas, jika mengacu pada hadist yang diriwayatkan oleh al-Dhahak
bin Muzahim, ayat tersebut berisikan pujian dan perlindungan terhadap
wanita-wanita Nabi termasuk 'Aisyah, jangan sampai ada tuduhan-tuduhan keji
terhadap mereka terulang seperti yang telah dituduhkan kepada Sayyidah 'Aisyah.
Wanita-wanita Nabi di sini dimaksudkan kepada istri-istri nabi. Mengapa hanya
kepada istri-istri Nabi, alasannya Ummahat al-mukminin lebih layak
mendapatkan pujian dan pembelaan itu daripada wanita-wanita baik yang lain.[6] Dan hukuman atas tuduhan kepada
istri-istri Nabi, sama seperti kasus yang menimpa 'Aisyah. Disisi lain
seseorang akan mendapatkan laknat dunia-akhirat salah satunya dikarenakan
menyakiti Allah dan Rasul-Nya, seperti yang tercantum di QS. Al-Ahzab: 57.
إِنَّ
الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
"Sesungguhnya
orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia
dan di akhirat. Dan Allah menyediakan adzab yang menghinakan bagi mereka."
(QS.
Al-Ahzab: 57)
Artinya
menyakiti dengan menuduh yang bukan-bukan terhadap istri Nabi, akan menyakiti
hati Nabi Muhammad juga, dan yang menyakiti Nabi berarti ia menyakiti Allah
swt.[7]
Wanita-wanita
Nabi ini bukan hanya berkutat pada azwaj al-Nabi (istri-istri Nabi)
saja, tapi mungkin juga berlaku pada putri-putri Nabi atau keturunan-keturunan
beliau. Karena jika mengaitkan dengan ayat diatas—QS. Al-Ahzab: 57—maka, hal
ini juga akan berlaku pada setiap orang yang sekiranya bisa membuat nabi
tersakiti. Putrinya misalnya, mana ada seorang ayah yang tak tersakiti ketika
anaknya yang baik dituduh berbuat zina. Apalagi seorang yang seperti Fathimah
al-Zahroh, yang mempunyai keutamaan yang tak jauh beda dengan para istri-istri
Nabi. Bahkan ia juga mempunyai sebutan-sebutan khusus dari nabi Muhammad yakni,
Sayyidah al-Nisa' al-'Alamin, pemimpin semua wanita di seluruh alam dan ummu
abiha, yakni yang menjadi seorang ibu bagi ayahnya. Dengan demikian,
menuduh yang tidak benar apalagi tuduhan zina terhadap putri-putri Nabi akan
menyakiti hati Nabi, dan laknat dunia akhirat halal baginya.
Ketika ayat
ini dipahami dengan kaidah yang terbalik, yakni al-'ibroh bi 'umumi
al-lafdhi la bi khususi al-sabab. Maka ayat ini berlaku untuk mereka, semua
wanita-wanita mukmin dengan kriteria diatas. Meskipun terkadang yang ada yang ngotot
bahwa ayat ini—QS. Al-Nur: 23—khusus untuk 'Aisyah dan istri-istri Nabi yang lain.
Dan tuduhan zina kepada wanita-wanita mukmin secara umum itu masuk penjelasan QS.
Al-Nur: 4. Jadi apakah salah jika memaknai QS. Al-Nur: 23 dengan wanita-wanita mukmin
secara umum. Kami rasa tidak, karena hal ini sejalan dengan apa yang telah
diucapkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tentang "wanita mukmin"
dalam QS. Al-Nur: 23 tersebut. Ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan 'Aisyah dan siapa saja yang berbuat semacam itu terhadap wanita-wanita
mukmin yang lain. Ia berhak mendapatkan ancaman yang sama seperti Allah
sebutkan di ayat tersebut. Hanya saja 'Aisyah menjadi contoh dalam kasus ini.[8]
Perlu kita ketahui,
tidak elok memang menuduh seseorang tanpa bukti, jangankan terhadap
wanita-wanita mukmin, menuduh wanita-wanita kafir pun tidak dibenarkan jika tanpa
ada bukti. Perbedaanya hanya, tidak ada hukuman bagi penuduh atas tuduhan hal tersebut
terhadap orang kafir.[9]
Selain itu, tuduhan
zina (qadzaf)ini juga mendapatkan perhatian besar dari Nabi, dan
dimasukkan dalam perkara al-mubiqat. Seperti yang tertera dalam hadist
Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abu
Hurairah.[10]
أن
رسول الله صلّى الله عليه وسلم قال: «اجتنبوا السبع الموبقات، قيل: وما هن يا رسول
الله؟ قال: الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل
الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات»
Sesungguhnya Rasulullah saw
bersabda, "Jauhilah tujuh perkara yang mendatangkan kebinasaan." para
sahabat bertanya, "apa saja itu ya Rasulallah?" Rasul pun menjawab,
"yaitu syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh
Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat, memakan barang riba,
memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan
melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga
kehormatannya dan lugu dari pikiran-pikiran jahat."
Orang-orang
yang telah menuduh zina tadi akan terlaknati di dunia dan
di akhirat,
dalam tafsir al-Misbah digambarkan dengan dijauhkannya dari rahmat Allah berupa
cambukan untuk penuduh yang tidak bisa membawa 4 saksi, rasa antipati atau
pengkucilan dari masyarakat Muslim, ditambah dengan penolakan kesaksian mereka
selama-lamanya. Kecuali mereka yang mau bertaubat, hal ini seperti yang telah
difirmankan Allah pada QS. Al-Nur: 4-5.[11]
"Dan
orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka
tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (cambuk) delapan
puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya.
Mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali mereka yang bertobat setelah itu,
dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Dengan demikian, bagi mereka yang
tidak mau bertaubat kepada Allah dan memperbaiki dirinya, maka wajib bagi
mereka mendapatkan adzab yang sangat besar.
PENUTUP
Dalam ayat
ini menjelaskan tentang tidak dibenarkannya menuduh orang lain berzina tanpa
disertai empat orang saksi yang melihat secara langsung. Walaupun yang dituduh
tadi adalah orang kafir, apalagi menuduh orang-orang mukmin. Terlebih menuduh
para ummahat al-mukminin seperti yang dilakukan kaum munafikin terhadap
Sayyidah 'Aisyah.
Dengan
demikian ayat ini secara umum bisa dikonstektualisasikan pada zaman sekarang.
Bukan hanya mereka yang menuduh ummahat al-mukminin berzina yang akan
mendapatkan laknat, tapi tuduhan terhadap mukminah zaman sekarang dengan
kriteria di atas juga akan mendapatkan laknat yang sama. Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
'Amim al-Ihsan, Muhammad, al-Ta'rifat
al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003)
Muhammad,
Abdullah bin, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, Terj. Abd. Ghofar dan Abu
Ihsan, (Kairo: Muassasah Dar al-Hilal, 1994)
Shihab, M. Quraisy, Tafsir
Al-Misbah, (Jakarta Lentera Hati, 2009)
al-Suyuthi,
Jalaluddin, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Beirut: Muassasah
al-Kitab al-Tsaqofah, 2002)
Tim
FKI Sejarah ATSAR, Sejarah Kehidupan Nabi: Lentera Kegelapan, (Kediri:
Pustaka Gerbang Lama, 2015)
al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir
al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009)
[1] Muhammad 'Amim al-Ihsan, al-Ta'rifat al-Fiqhiyah,
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003) h. 172.
[2]
Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Beirut:
Muassasah al-Kitab al-Tsaqofah, 2002) h. 185; Wahbah Zuhaili, al-Tafsir
al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), jilid 9, h. 526
[4]
Shofwan bin Mu'athal merupakan sahabat Nabi yang mempunyai suatu kebiasaan yang
unik dibanding sahabat yang lain, yakni di setiap suatu perjalanan, sering kali
ia berjalan sendirian jauh di belakang rombongan. Dengan tujuan memastikan
tidak ada barang-barang yang tertinggal. Dan tuduhan ini bermula ketika Shofwan
menemukan Sayyidah 'Aisyah yang saat itu tersesat dan tertinggal dari rombongan
dikarenakan beliau tanpa izin keluar dari hawjadnya untuk mencari
kalungnya yang hilang. Lengkapnya lihat, Tim FKI Sejarah ATSAR, Sejarah
Kehidupan Nabi: Lentera Kegelapan, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2015) h.
439.
[5]
Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, terj. Abd.
Ghofar dan Abu Ihsan, (Kairo: Muassasah Dar al-Hilal, 1994), jilid 6, h. 30
[7]
Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, jilid 6, h. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar