Rabu, 13 Desember 2017

ASBABUN NUZUL QS. AL-NUR; 23: LARANGAN QADZAF

PENDAHULUAN
Asbabun nuzul merupakan salah satu dari sekian alat untuk memahami dengan benar dan mengambil suatu keputusan yang tepat tentang suatu ayat. Karena terkadang terdapat suatu ayat yang untuk memahaminya harus dikaitkan dengan sebab turunnya agar tidak salah dalam memahami ayat, istilah yang sering kita dengar yakni, agar tidak terjadi pemerkosaan ayat.
Pada makalah ini akan membahas asbabun nuzul QS. Al-Nur ayat 23, yang berisi tentang ancaman kepada mereka yang melakukan qadzaf. Qadzaf secara bahasa adalah melempar kemudian maknanya beralih menjadi menghina atau mengutuk. Sedangkan secara istilah, melemparkan tuduhan yang tertentu artinya menuduh orang lain melakukan zina.[1] Dalam ayat ini, terdapat beberapa redaksi asbabun nuzul yang mengakibatkan perbedaan pendapat tentang siapa objek tuduhannya yang mempengaruhi berlaku tidaknya ancaman dalam ayat tersebut terhadap penuduh.

Dalam makalah ini, kami mencoba memahami ayat tersebut dengan memakai kaidah al-'Ibroh bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafdhi dan kebalikannya al-'ibroh bi 'umumi al-lafdhi la bi khususi al-sabab. Dengan tujuan masih relevankah ayat ini dipahami tanpa mengacu pada asbabun nuzul.

PEMBAHASAN
Q.S. AN-NUR: 23
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيم
"Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lugu lagi beriman (berbuat zina), mereka terlaknati di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar."

Asbabun nuzul
Pada ayat ini, yakni QS. Al-Nur: 23, ada beberapa hadist atau redaksi asbabun nuzul yang berkaitan dengannya, antara lain.[2]
أخرج الطبراني عن الضحّاك بن مزاحم قال: نزلت هذه الآية في نساء النبي صلّى الله عليه وسلم خاصة: إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الآية.
Imam Al- Thabrani meriwayatkan dari al-Dhahak bin Muzahim, ia berkata: ayat ini diturunkan secara khusus mengenai wanita-wanita Nabi saw. "Inna al-ladzina yarmuna al-muhshonati al-ghofilati," QS. Al-Nur: 23.
وأخرج ابن أبي حاتم عن ابن عباس قال: نزلت هذه الآية في عائشة خاصة.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: Ayat ini diturunkan hanya berkaitan dengan 'Aisyah secara khusus.
وأخرج ابن جرير عن عائشة قالت: رميت بما رميت به، وأنا غافلة، فبلغني بعد ذلك، فبينا رسول الله صلّى الله عليه وسلم عندي إذ أوحي إليه، ثم استوى جالسا، فمسح وجهه وقال: يا عائشة، أبشري، فقلت: بحمد الله، لا بحمدك، فقرأ: إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الْمُؤْمِناتِ حتى بلغ أُولئِكَ مُبَرَّؤُنَ مِمَّا يَقُولُونَ.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari 'Aisyah, Ia berkata, "Saya pernah dituduh berzina, dan saya tidak menyadarinya, lalu berita itu sampai kepadaku. Dan ketika Rasulullah berada bersamaku, tiba-tiba beliau menerima wahyu, kemudian beliau duduk tegak sambal mengusap wajahnya. Kemudian beliau bersabda, "Bergembiralah wahai 'Aisyah" Saya pun menjawab, " Saya memuji Allah, tidak kepadamu." Lalu Nabi membacakan firman-Nya, " إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَناتِ الْغافِلاتِ الْمُؤْمِناتِ” sampai ayat  ” أُولئِكَ مُبَرَّؤُنَ مِمَّا يَقُولُونَ "

Tafsir Ayat
Sesungguhnya sangat tidak pantas sekali dan bahkan keterlaluan orang-orang yang melemparkan suatu tuduhan zina terhadap wanita yang baik-baik, yakni seorang wanita yang selalu menjaga kehormatannya dan melindungi kesuciannya yang lugu dari pikiran-pikiran untuk berbuat suatu kesia-siaan dan keburukan ditambah lagi beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka terlaknati di dunia dan di akhirat, dan bagi mereka adzab yang besar.[3]
Ayat ini merupakan ancaman untuk mereka yang menuduh wanita-wanita mukmin melakukan suatu perzinaan. Ada beberapa pendapat dari para 'Ulama mengenai siapa yang dimaksud wanita-wanita mukmin itu. Wanita-wanita itu antara lain.
1.      Sayyidah 'Aisyah
2.      Semua wanita-wanita Nabi Muhammad saw.
3.      Wanita-wanita mukmin secara umum.
Menurut redaksi asbabun nuzul diatas ayat—seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas—ini merupakan reaksi secara khusus atas tuduhan orang-orang munafikin terhadap Sayyidah 'Aisyah yang dianggap selingkuh dengan Shofwan bin Mu'athal[4]. Jika ayat ini dipahami memakai kaidah al-'Ibroh bi khushus al-sabab la bi 'umum al-lafdhi, maka ayat ini merupakan pujian dan sebagai pembelaan Allah kepada Sayyidah 'Aisyah. Betapa mulianya 'Aisyah yang secara langsung mendapatkan pembelaan dari Allah swt. Kalau boleh dibahasakan, bagaimana mungkin wanita seperti 'Aisyah yang selalu menjaga kehormatannya, wanita yang lugu dan polos dari pikiran-pikiran kotor, dan lagi dia adalah wanita yang beriman berbuat zina. Jadi seakan-akan bentuk ancaman di atas hanya berlaku jika menuduh Sayyidah 'Aisyah saja. Dan barang siapa yang menentang setelah turunnya ayat ini dianggap kafir, karena menentang al-Quran.[5]
Berbeda dengan yang di atas, jika mengacu pada hadist yang diriwayatkan oleh al-Dhahak bin Muzahim, ayat tersebut berisikan pujian dan perlindungan terhadap wanita-wanita Nabi termasuk 'Aisyah, jangan sampai ada tuduhan-tuduhan keji terhadap mereka terulang seperti yang telah dituduhkan kepada Sayyidah 'Aisyah. Wanita-wanita Nabi di sini dimaksudkan kepada istri-istri nabi. Mengapa hanya kepada istri-istri Nabi, alasannya Ummahat al-mukminin lebih layak mendapatkan pujian dan pembelaan itu daripada wanita-wanita baik yang lain.[6] Dan hukuman atas tuduhan kepada istri-istri Nabi, sama seperti kasus yang menimpa 'Aisyah. Disisi lain seseorang akan mendapatkan laknat dunia-akhirat salah satunya dikarenakan menyakiti Allah dan Rasul-Nya, seperti yang tercantum di QS. Al-Ahzab: 57.
إِنَّ الَّذِينَ يُؤْذُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَعَدَّ لَهُمْ عَذَابًا مُهِينًا
"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat. Dan Allah menyediakan adzab yang menghinakan bagi mereka." (QS. Al-Ahzab: 57)
Artinya menyakiti dengan menuduh yang bukan-bukan terhadap istri Nabi, akan menyakiti hati Nabi Muhammad juga, dan yang menyakiti Nabi berarti ia menyakiti Allah swt.[7]
Wanita-wanita Nabi ini bukan hanya berkutat pada azwaj al-Nabi (istri-istri Nabi) saja, tapi mungkin juga berlaku pada putri-putri Nabi atau keturunan-keturunan beliau. Karena jika mengaitkan dengan ayat diatas—QS. Al-Ahzab: 57—maka, hal ini juga akan berlaku pada setiap orang yang sekiranya bisa membuat nabi tersakiti. Putrinya misalnya, mana ada seorang ayah yang tak tersakiti ketika anaknya yang baik dituduh berbuat zina. Apalagi seorang yang seperti Fathimah al-Zahroh, yang mempunyai keutamaan yang tak jauh beda dengan para istri-istri Nabi. Bahkan ia juga mempunyai sebutan-sebutan khusus dari nabi Muhammad yakni, Sayyidah al-Nisa' al-'Alamin, pemimpin semua wanita di seluruh alam dan ummu abiha, yakni yang menjadi seorang ibu bagi ayahnya. Dengan demikian, menuduh yang tidak benar apalagi tuduhan zina terhadap putri-putri Nabi akan menyakiti hati Nabi, dan laknat dunia akhirat halal baginya.
Ketika ayat ini dipahami dengan kaidah yang terbalik, yakni al-'ibroh bi 'umumi al-lafdhi la bi khususi al-sabab. Maka ayat ini berlaku untuk mereka, semua wanita-wanita mukmin dengan kriteria diatas. Meskipun terkadang yang ada yang ngotot bahwa ayat ini—QS. Al-Nur: 23—khusus untuk 'Aisyah dan istri-istri Nabi yang lain. Dan tuduhan zina kepada wanita-wanita mukmin secara umum itu masuk penjelasan QS. Al-Nur: 4. Jadi apakah salah jika memaknai QS. Al-Nur: 23 dengan wanita-wanita mukmin secara umum. Kami rasa tidak, karena hal ini sejalan dengan apa yang telah diucapkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam tentang "wanita mukmin" dalam QS. Al-Nur: 23 tersebut. Ia mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan 'Aisyah dan siapa saja yang berbuat semacam itu terhadap wanita-wanita mukmin yang lain. Ia berhak mendapatkan ancaman yang sama seperti Allah sebutkan di ayat tersebut. Hanya saja 'Aisyah menjadi contoh dalam kasus ini.[8]
Perlu kita ketahui, tidak elok memang menuduh seseorang tanpa bukti, jangankan terhadap wanita-wanita mukmin, menuduh wanita-wanita kafir pun tidak dibenarkan jika tanpa ada bukti. Perbedaanya hanya, tidak ada hukuman bagi penuduh atas tuduhan hal tersebut terhadap orang kafir.[9]
Selain itu, tuduhan zina (qadzaf)ini juga mendapatkan perhatian besar dari Nabi, dan dimasukkan dalam perkara al-mubiqat. Seperti yang tertera dalam hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Abu Hurairah.[10]
أن رسول الله صلّى الله عليه وسلم قال: «اجتنبوا السبع الموبقات، قيل: وما هن يا رسول الله؟ قال: الشرك بالله، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم، والتولي يوم الزحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات»
Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda, "Jauhilah tujuh perkara yang mendatangkan kebinasaan." para sahabat bertanya, "apa saja itu ya Rasulallah?" Rasul pun menjawab, "yaitu syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh syariat, memakan barang riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari medan pertempuran, dan melontarkan tuduhan zina terhadap wanita-wanita mukminah yang terjaga kehormatannya dan lugu dari pikiran-pikiran jahat."
Orang-orang yang telah menuduh zina tadi akan terlaknati di dunia dan di akhirat, dalam tafsir al-Misbah digambarkan dengan dijauhkannya dari rahmat Allah berupa cambukan untuk penuduh yang tidak bisa membawa 4 saksi, rasa antipati atau pengkucilan dari masyarakat Muslim, ditambah dengan penolakan kesaksian mereka selama-lamanya. Kecuali mereka yang mau bertaubat, hal ini seperti yang telah difirmankan Allah pada QS. Al-Nur: 4-5.[11]
"Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (cambuk) delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali mereka yang bertobat setelah itu, dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh Allah itu Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Dengan demikian, bagi mereka yang tidak mau bertaubat kepada Allah dan memperbaiki dirinya, maka wajib bagi mereka mendapatkan adzab yang sangat besar.


PENUTUP
Dalam ayat ini menjelaskan tentang tidak dibenarkannya menuduh orang lain berzina tanpa disertai empat orang saksi yang melihat secara langsung. Walaupun yang dituduh tadi adalah orang kafir, apalagi menuduh orang-orang mukmin. Terlebih menuduh para ummahat al-mukminin seperti yang dilakukan kaum munafikin terhadap Sayyidah 'Aisyah.
Dengan demikian ayat ini secara umum bisa dikonstektualisasikan pada zaman sekarang. Bukan hanya mereka yang menuduh ummahat al-mukminin berzina yang akan mendapatkan laknat, tapi tuduhan terhadap mukminah zaman sekarang dengan kriteria di atas juga akan mendapatkan laknat yang sama. Wallahu a'lam.

DAFTAR PUSTAKA
'Amim al-Ihsan, Muhammad, al-Ta'rifat al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003)
Muhammad, Abdullah bin, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, Terj. Abd. Ghofar dan Abu Ihsan, (Kairo: Muassasah Dar al-Hilal, 1994)
Shihab, M. Quraisy, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta Lentera Hati, 2009)
al-Suyuthi, Jalaluddin, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Beirut: Muassasah al-Kitab al-Tsaqofah, 2002)
Tim FKI Sejarah ATSAR, Sejarah Kehidupan Nabi: Lentera Kegelapan, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2015)
al-Zuhaili, Wahbah, al-Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009)










[1] Muhammad 'Amim al-Ihsan, al-Ta'rifat al-Fiqhiyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003) h. 172.
[2] Jalaluddin al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, (Beirut: Muassasah al-Kitab al-Tsaqofah, 2002) h. 185; Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), jilid 9, h. 526
[3] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Vol. 8, h. 509.

[4] Shofwan bin Mu'athal merupakan sahabat Nabi yang mempunyai suatu kebiasaan yang unik dibanding sahabat yang lain, yakni di setiap suatu perjalanan, sering kali ia berjalan sendirian jauh di belakang rombongan. Dengan tujuan memastikan tidak ada barang-barang yang tertinggal. Dan tuduhan ini bermula ketika Shofwan menemukan Sayyidah 'Aisyah yang saat itu tersesat dan tertinggal dari rombongan dikarenakan beliau tanpa izin keluar dari hawjadnya untuk mencari kalungnya yang hilang. Lengkapnya lihat, Tim FKI Sejarah ATSAR, Sejarah Kehidupan Nabi: Lentera Kegelapan, (Kediri: Pustaka Gerbang Lama, 2015) h. 439.
[5] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, terj. Abd. Ghofar dan Abu Ihsan, (Kairo: Muassasah Dar al-Hilal, 1994), jilid 6, h. 30
[6] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, jilid 6, h. 30
[7] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, jilid 6, h. 30
[8] Abdullah bin Muhammad, Lubab al-Tafsir min Ibni katsir, jilid 6, h. 30
[9] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Vol. 8, h. 510.
[10] Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 2009), jilid 9, h. 527
[11] M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), Vol. 8, h. 510

Tidak ada komentar:

Posting Komentar