TAFSIR TAHLILI JUZ 1-5
SURAT ALI 'IMRON: 121-129
Oleh: Mohammad Amri Rosyadi
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ
الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (121) إِذْ
هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى
اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (122) وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ
بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (123)
إِذْ تَقُولُ لِلْمُؤْمِنِينَ أَلَنْ يَكْفِيَكُمْ أَنْ يُمِدَّكُمْ رَبُّكُمْ
بِثَلَاثَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُنْزَلِينَ (124) بَلَى إِنْ تَصْبِرُوا
وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ
بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ (125) وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ
إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (126) لِيَقْطَعَ طَرَفًا مِنَ
الَّذِينَ كَفَرُوا أَوْ يَكْبِتَهُمْ فَيَنْقَلِبُوا خَائِبِينَ (127) لَيْسَ
لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ
فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (128) وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ
رَحِيمٌ (129)
Ayat 121
"Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad)
berangkat pada pagi hari meninggalkan keluargamu untuk mengatur orang-orang
beriman pada pos-pos pertempuran. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
Asbabun Nuzul
نزول آية وَإِذْ غَدَوْتَ في غزوة أحد، أخرج ابن أبي حاتم وأبو يعلى
عن المسور بن مخرمة قال:
قلت لعبد الرحمن بن عوف، أي خالي: أخبرني عن قصتكم يوم أحد، فقال:
اقرأ بعد العشرين ومائة من آل عمران تجد قصتنا، أي من قوله: وَإِذْ غَدَوْتَ ...
إلى قوله تعالى: ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ
أَمَنَةً نُعاساً أي وما بعد ذلك بمقدار ستين آية.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya'la dari, ia berkata: saya bertanya kepada
pamanku, Abdurrohman bin 'Auf, "Ceritakan kepadaku tentang kisahmu pada
perang Uhud." Beliaupu menjawab, "Bacalah ayat setelah ayat 120 dari
surat Ali 'Imron, kamu akan menemukan kisah kami."
Maksudnya
firman Allah وَإِذْ غَدَوْتَ sampai ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعاساً. Kira-kira sampai 60 ayat.
Dikelompok
ayat sebelumnya, menjelaskan tentang sikap dan perilaku yang lebih bersifat
batin dengan ucapan-ucapan kasar oleh kaum kafir terhadap kaum muslim. Kemudian
di ayat ini masih berbicara tentang perilaku kaum kafir tapi disini lebih
bersifat fisik, seperti perang. Dan beberapa teks menyebutkan bahwa ayat 121
ini, berkaitan dengan perang Uhud.
Dalam hal
munasabahnya, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 120, dimana
keterkaitan itu menjelaskan suatu pegangan hidup yang kemudian dicontohkan
dengan kekalahan pasukan muslim dalam perang Uhud yang tersirat pada ayat 121.
Di ayat 120 menyebutkan,
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا
لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا
"Jikalau kalian bersabar dan patuh, maka tidak ada suatu pun tipu daya
mereka yang bisa membahayakan kalian."
Diceritakan,
pada pagi itu, Rosulullah mengatur serangan dengan menempatkan para pasukan
pada pos-posnya masing-masing. Termasuk para pemanah, Rasululllah mengamanati
Abdullah bin Zubair untuk memimpin lima puluh orang pemanah. Beliau berkata, "Hujanilah pasukan berkuda musuh dengan
anak panah kalian. Jangan biarkan mereka menyergap dari belakang. Apa pun yang
akan terjadi, jangan pernah meninggalkan posisi kalian meskipun kemenangan
telah berpihak pada kita, atau lebih-lebih dalam keadaan kita dikalahkan
musuh."
Peperangan
pun dimulai, dan pasukan muslim berhasil membuat pasukan kafir Quraiys
kocar-kacir melaikan diri. Kaum muslim pun melakukan pengejaran hingga medan
perang hanya menyisakan korban perang saja. Setelah itu mereka pun kembali dan
memunguti rampasan perang yang tertinggal. Malapetaka kekalahan pasukan muslim
berawal dari keterpedayaan dengan kemenangan sehingga membuat mereka tidak
patuh kepada pimpinan, yakni Abdullah bin Zubair, untuk ikut turun memunguti
harta rampasan tadi.
Melihat
adanya kelemahan pada posisi kaum muslim, Kholid bin Walid sebagai pimpinan
kafir Quraiys dengan beberapa pasukan memutar kuda mereka, dan menyerang balik
dengan menaiki bukit yang telah ditinggalkan sebagian pasukan pemanah muslim.
Penyerangan mereka membuat kaget dan panik kaum muslim. Bagaimana tidak, kaum
muslim dikepung dari dua arah, dibelakang ada pasukan berkuda, sedangkan di
depan ada pasukan Quraiys yang datang dari arah pelariannya.
Oleh
karena itu, pemakaian lafadh ( تُبَوِّئُ) tubawwi'u di ayat
tersebut sangatlah penting, dimana lafadh tubawwi'u
(bawwa'a بوّأ) terambil dari kata (أوّب) awwaba yang bermakna kembali, artinya
dalam keadaan bagaimana pun kalian harus kembali ke penempatan asal. Jangan
sampai terpedaya dengan keadaan yang sementara. Selain itu, bentuk kemantapan
dalam ayat tersebut juga terdapat lafadh (مَقَاعِدَ) maqo'id bukan (مواقم) mawaqim
ataupun (مجالس) majalis.
Secara arti mungkin sama, tapi kedalaman dari lafadh tersebut yang beda. Maqo'id merupakan jamak dari lafadh (مقعد) maq'ad,
tempat duduk. Sedangkan mawaqim jamak
dari lafadh (مقام) maqom,
tempat berdiri.
Duduk
lebih menunjukkan kemantapan daripada berdiri yang lebih memberi kesan mudah
untuk berpindah tempat. Disisi lain, duduk mempunyai beberapa manfaat, antara
lain:
a.
Orang yang duduk akan lebih tenang untuk berpikir, disebutkan dalam
jurnal PLOS ONE, dengan duduk seseorang akan mudah mengingat daftar kata-kata
dan memudahkan dalam hal hitung-hitungan. Sedangkan, kerja sambil berdiri akan
meyulitkan seseorang untuk berkonsentrasi karena sibuk mencari posisi yang
nyaman dalam berdiri.
b.
Bisa mengatur emosi daripada yang berdiri. Seperti sabda Nabi yang
menanggapi orang yang sedang marah. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar,
Ia berkata: Rosulullah bersabda kepada kami: "Jika salah seorang dari
kalian marah dan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk. Jika rasa
marahnya hilang (maka itu yang dikehendaki), jika tidak hendaklah ia berbaring.
Adapun
antara maqo'id dan majalis, maqo'id berasal dari kata (قعد) qo'ada dan majalis berasal dari kata (جلس) jalasa. Keduanya mempunyai arti sama,
yakni duduk. Bedanya, bentuk qo'ada
digunakan pada posisi tinggi ke posisi rendah, seperti dari posisi berdiri ke
posisi duduk, nah.. bentuk duduk ini adalah qo'ada.
Sedangkan jalasa digunakan pada
posisi rendah ke posisi lebih tinggi, seperti duduk dari keadaan berbaring atau
tidur.
Ayat 122
"Ketika
dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah
penolong mereka. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin
bertawakkal."
Asbabun Nuzul
روى الشيخان عن جابر قال: فينا
نزلت: إِذْ هَمَّتْ طائِفَتانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلا، وَاللَّهُ وَلِيُّهُما
قال: نحن الطائفتان: بنو حارثة وبنو سلمة، وما نحب أنها لم تنزل، لقوله تعالى:
وَاللَّهُ وَلِيُّهُما.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan
Muslim dari Jabir ibn 'Abdillah. Ia berkata, "ayat ini (إِذْ هَمَّتْ
طائِفَتانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلا، وَاللَّهُ وَلِيُّهُما) berkaitan dengan kami." "dua
kelompok itu adalah kami, yakni Bani Harisah dan Bani Salamah. Kami sama sekali
tidak senang bila ayat ini tidak diturunkan, karena pada ayat selanjutnya Allah
menyebutkan " وَاللَّهُ وَلِيُّهُما." Padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu.
Ayat ini
berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni, Q.S. Ali Imron: 118, yang mana
didalamnya Allah memperingatkan orang Muslim agar tidak menjadikan orang-orang
diluar kalangannya (agama) sebagai teman akrab atau orang-orang kepercayaan.
Karena tidak memungkiri bahwa, banyak dari kalangan mereka selalu menginginkan
adanya suatu kemadhorotan, kesusahan atau apa saja yang dianggap tidak
mengenakkan dalam diri Muslim.
Contoh
yang telah terjadi yakni pada peperangan di lembah Uhud. Dimana dalam pasukan
Nabi terdapat seorang Yahudi munafik, yakni Abdullah bin Ubay bin Salul yang
membalikkan untanya kearah Madinah dan di ikuti tiga ratus pengikut setianya di
saat musuh sudah berada di depan mata. Hal ini membuat kekuatan muslim
berkurang dan dipastikan mental mereka akan down.
Bayangkan saja, tiga ribu pasukan kafir melawan tujuh ratus pasukan muslim.
Sehingga menyebabkan adanya dua kelompok yakni, bani Salamah dari suku Khazraj
dan bani Haritsah dari suku 'Aus, yang ingin mundur dari peperangan karena
takut mati.
Penggunaan
kalimat hammat disini lebih dipilih
dari pada memakai kalimat aroda.
Karena memang dua golongan itu, tidak jadi mundur menuruti keinginannya seperti
yang telah disebutkan diatas. Ini dibuktikan dengan kematian 'Abdullah bin
'Amr, ayah Jabir, sebagai pemuka bani salamah dari suku Khazraj. Dalam mu'jam al-Wasith, hamma berarti 'azama 'ala
al-qiyami bihi wa lam yaf'alhu, artinya keinginan itu hanya sebatas
keinginan saja, tanpa ada greget
untuk melakukannya. Sedangkan aroda
berarti hamalahu 'alaihi kurang lebih
artinya keinginan itu sudah dibawa untuk dilakukan.
Dalam
tafsir al-Sya'rowi menjelaskan bahwa, al-hammu
adalah gerakan pikiran untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. lintasan
pikiran ini berada dua strip dibawah niat dan azam. Niat adalah berkehendak
akan sesuatu berbarengan dengan kegiatan atau pekerjaannya itu, sedangkan 'azam
ialah berkehendak akan sesuatu tanpa disertai dengan melakukannya. Jadi yang
terjadi pada mereka hanyalah suatu keragu-raguan, dalam konteks ayat tersebut
yakni keraguan untuk mundur atau tidak. Dengan seperti itu, Allah memaklumi
dengan adanya rasa takut yang menghampiri mereka. Suatu yang dianggap logis
jika dalam pikiran mereka selalu dihinggapi rasa was-was dari berbagai macam
bahaya.
Oleh
karena itu, dengan adanya lafadh berikutnya, وَاللَّهُ وَلِيُّهُما membuat mereka senang, bahwa ada Allah
yang akan selalu menolongnya. Akhirnya mereka membuang rasa takut mereka dan
ikut berjuang kembali bersama Rasul. Dan sebagian dari mereka ada yang menjadi
bagian dari syuhada' seperti yang telah diceritakan di atas.
Ayat 123
"Dan
sungguh, Allah telah menolong kamu dalam perang Badar, padahal kamu dalam
keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya."
Berbeda dengan
ayat 121 diatas, yang menyiratkan kejadian dalam perang Uhud, dimana
ketidaksabaran mereka membuat mereka kurang tawakkal kepada Allah swt. sehingga
mereka melenceng dari perintah Nabi dan memperoleh kekalahan. Tetapi di ayat
123 ini, Allah mengingatkan kembali tentang apa yang terjadi pada waktu perang
Badar. Dimana mereka sebelumnya merasa kaum lemah dengan persiapan perang yang
kurang, hanya mengandalkan kepasrahan dengan mematuhi perintah. Sehingga Allah
tak sampai hati membiarkan hambanya mendapati kekalahan. Akhirnya Allah pun
mengutus para malaikat untuk membantu pasukan muslim untuk mengalahkan kaum kafir.
Ini
sebagai bukti, bahwa kita tidak usah takut dan khawatir—seperti yang dilakukan
oleh dua kelompok di ayat sebelumnya—jumlah dan kesiapan mereka tidak akan
mempengaruhi, toh juga, meskipun kita sedikit dan lemah, tapi Allah masih
bersama kita. Dan kemenangan selalu berada dipihak yang benar, selama kebenaran
itu diimbangi dengan hal yang benar, tawakkal dan tidak sombong. Karena dengan
terbesitnya rasa sombong meskipun sedikit, akan mempengaruhi jalannya
peperangan, meskipun akhirnya menang. Hal ini seperti yang terjadi pada perang
Hunain dan termaktub dalam QS. At-Taubah: 25-26.
"(25) Sesungguhnya Allah telah menolong kalian
dimedan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di
waktu kamu menjadi congkak (sombong) karena banyaknya jumlah (kalian), maka
jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitkpun, dan bumi
yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu (muslimin) lari kebelakang
dengan tercerai-berai. (26) Kemudian Allah memberikan ketenangan pada Rasul-Nya
dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang
kamu tiada melihatnya. Dan Allah menimpakan bencana pada orang-orang yang
kafir."
فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ, bertakwalah kepada Allah agar kamu
mensyukuri-Nya. Dengan bertakwa yakni melakukan segala bentuk amalan, perintah
atau larangan merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kita kepada Allah.
Banyak
disebutkan dalam kitab sejarah, bahwa dalam perang Uhud ini kaum muslimin
menderita kekalahan. Secara statistik mungkin iya, tetapi kalaupun tetap
dikatakan kalah, kekalahan muslimin itu merupakan tombak kemenangan dalam
peperangan berikutnya. Karena sebagai pembelajaran kaum muslim agar lebih patuh
kepada Allah dan Rasul-Nya. Menarik, ketika Syekh Mutawalli al-Sya'rowi
berpendapat bahwa, dalam perang Uhud kaum Muslim tidaklah kalah dan kaum Kafir
jauh dari kata menang. Karena menurut beliau, syarat dikatakan menang paling
tidak ada tiga, yakni: pertama, harus
berhasil menduduki daerah peperangan atau daerah yang diserang. Kedua, adanya pasukan musuh yang
tertawan. Ketiga, adanya harta
rampasan perang (ghonimah).
Ayat 124-125
"(Ingatlah),
ketika engkau (Muhammad) mengatakan kepada orang-orang beriman, "Apakah
tidak cukup bagimu bahwa Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang
diturunkan (dari langit)?"
"Ya"
(cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu
dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolong dengan lima ribu malaikat yang memakai
tanda.
Ada
perselisihan pendapat dikalangan Ulama, tentang keterkaitan ayat tersebut
apakah terkait dengan konteks perang Badar atau perang Uhud. Dalam tafsir Ibnu
Katsir, menyebutkan…
Quraiys
Shihab berpendapat, bahwa di ayat ini masih dalam konteks perang Uhud, dimana
Allah menjanjikan akan menurunkan bala tentara yang tak terlihat seperti yang
telah Allah lakukan pada saat perang Badar. Dikatakan masuk dalam konteks Uhud
karena jumlah tentara yang dijanjikan, karena dalam perang Badar hanya dibatasi
pada angka seribu seperti yang tertera dalam Q.S. al-Anfal: 9, sedangkan dalam
perang Uhud oleh Allah menjanjikan lebih, yakni mencapai angka tiga ribu bahkan
akan diturunkan sampai lima ribu tentara (baca: Malaikat).
Dalam dua
ayat tersebut, jika dipahami secara biasa, maka akan punya kesimpulan bahwa
Allah akan menurunkan tentara untuk membantu kalian sebanyak tiga ribu tentara
dan itu cukup. Tapi jika kalian bersabar dan bertakwa maka Allah akan menambah tentaranya
sampai lima ribu tentara. Nyatanya tidak, tiga ribu atau lima ribu masih tetap
bersyarat, terbukti dalam perang Uhud tak ada satupun malaikat yang diturunkan
oleh Allah. Ternyata –disebutkan dalam tafsir Misbah—janji Allah diatas
bukanlah janji yang harus langsung dipenuhi melainkan bersyarat, yakni "jika kamu bersabar dan bertakwa.".
Sayangnya mereka kaum muslim mengabaikan hal yang menjadi syarat tersebut
dengan tidak patuh dengan perintah Nabi.
Mungkin
kita akan mempertanyakan, mengapa harus dengan menurunkan ribuan malaikat?
padahal satu malaikat saja dalam kitab-kitab kuning seperti Daqoiq al-Akhbar menyebutkan bahwa
malaikat itu sangat gede, dan jika
memang seperti itu, satu malaikat pun di rasa cukup untuk menghancurkan pasukan
kafir. Dalam tafsir Misbah, penyebutan suatu jumlah yang lebih banyak akan
membuat pasukan muslim lebih superior, sehingga membuat hati mereka lebih
tenang dan tidak takut.
Term al-Malaikati munzalin atau malaikat yang
diturunkan mengandung penegasan bahwa yang diturunkan bukan malaikat biasa,
mereka adalah malaikat penghuni langit bukan penghuni bumi. Apakah keduanya
berbeda? Disini penulis belum tahu secara pasti, adakah perbedaan diantara dua
kelompok tersebut. Tetapi kalaupun tidak ada beda mungkin istilah langit yang
disandarkan pada sebagian malaikat, oleh manusia akan memberi kesan bahwa
makhluk-makhluk langit pasti hebat-hebat dan itu membuat mereka percaya diri.
Kemudian
di ayat kedua memakai term al-Malaikati
musawwimin atau malaikat yang memakai tanda, artinya malaikat yang
pemberani. Apa hubungannya "yang memakai tanda" dan pemberani? ketika
seseorang mamakai sebuah tanda, berarti dia akan tampil beda dengan umumnya
orang. Dan ketika dia tampil beda dengan umunnya orang berarti dia siap disorot
oleh banyak pasang mata, dan itu menurut penulis sangat berani sekali. Sehingga
ketika ditarik dalam konteks perang, pasukan yang memakai tanda tidak akan
sembunyi-sembunyi, tidak ada takutnya sama sekali, dia sudah terlihat jelas dan
siap untuk menyerang.
Di dua
ayat tersebut juga menyebutkan pemakaian kalimat (baca: kata) yang berasal dari
kata yang sama tapi ternyata mempunyai kegunaan yang berbeda, yakni يُمِدَّكُمْ (yumiddakum)
dan يُمْدِدْكُمْ (yumdidkum).
Keduanya berasal dari kata madad atau
imdad yang artinya pertolongan, dalam
dunia tasawuf mempunyai arti pertolongan atau bantuan dari langit. Menurut
al-Biqo'i—seperti yang dikutip Qurays Shihab—keduanya hanya dibedakan
pertolongan yang tidak nampak dan nampak saja. Perbedaan nampak tidaknya itu
tersebut terletak pada jelasnya qolqolah dal
kedua di kalimat yumdidkum yang tidak
ada di kalimat yumiddakum. Disini
penulis kurang bisa memahami maksud dari nampak tidaknya pertolongan tersebut,
karena antara yumiddakum dan yumdidkum dalam konteks perang Uhud
sama-sama tidak nampaknya.
Mengutip
perkataan al-Sya'rowi sebagai kesimpulan dalam ayat ini, bantuan serta
pertolongan Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang menyambut dan
menerima panggilan iman, yakni dengan bersabar dan bertakwa. Tidak usah
muluk-muluk dengan menyiapkan peralatan yang memang tidak ada. Siapkan
semampunya saja, jika memang kesiapan dan kemampuan kalian tidak bisa
menandingi kemampuan mereka. maka bersabar dan bertakwalah, bahwa masih ada
kekuatan diatas kekuatan yakni Allah swt.
Ayat 126
"Dan
Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar
gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada
kemenangan itu, selain dari Allah yang Mahaperkasa, Maha bijaksana."
Masih
berkaitan dengan penurunan malaikat di ayat sebelumnya, disini Allah menegaskan
bahwa diturunkannya malaikat-malaikat tersebut bukan sebagai pembawa suatu
kemenangan. Tetapi sebagai kabar gembira agar mereka, para muslim, merasakan
ketenangan dan kepercayaan diri dan mencapai suatu kemenangan. Karena tidak ada
suatu kemenangan selain dari Allah dengan catatan—seperti yang telah disebutkan
di ayat sebelumnya—mereka harus sabar dan bertakwa.
Dalam
tafsir Munir, Wahbah Zuhaili menjelaskan imdad
bi al-Malaikati mempunyai dua tujuan, yakni:
1.
Sebagai kabar gembira dengan adanya bantuan melawan musuh dan membuat
hati mereka senang.
2.
Menenangkan mereka bahwa Allah masih bersamanya dan sesungguh-Nya Dialah
sang Penolong yang hakiki.
Al-Sya'rowi
menegaskan, jangan pernah kalian membayangkan dengan diturunkannya beribu-ribu
jumlah malaikat itu merupakan satu-satunya jalan bagi Allah dalam upaya
memenangkan kalian. Karena Allah mampu memenangkan kalian dengan cara Allah
sendiri, tanpa embel-embel apapun. Seperti firman Allah yang sering kita
dengar, yakni:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ
يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (82)
"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "jadilah!" maka
jadilah sesuatu itu." QS. Yasin: 82
Ayat ini mempunyai kesamaan
dengan ayat yang ada di surat al-Anfal:
Dalam tafsir ar-Rozi, al-'Aziz sebagai isyarat betapa
sempurnanya kekuatan atau kemampuan-Nya, sedangkan al-Hakim merupakan isyarat betapa sempurnanya pengetahuan-Nya,
tidak ada kebutuhan hamba-Nya yang luput dari pengetahuan Allah dan juga Allah
mengetahui manakah yang layak mendapatkan pertolongan-Nya.
Ayat 127
"(Allah
menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bantuan) adalah untuk membinasakan
segolongan kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, sehingga mereka kembali
tanpa memperoleh apa pun."
Ayat 128
"Itu bukan menjadi urusan (Muhammad) apakah Allah menerima
tobat mereka, atau mengadzabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang dzalim."
Dihubungkan dengan kejadian
dalam perang Uhud dimana, kematian paman Nabi yakni, Hamzah bin Abdul Mutholib
secara sadis membuat Nabi sakit hati. Ditambah dengan keadaan beliau pasca
perang, seperti yang diriwayatkan imam Muslim dan imam Ahmad dari Anas bin
Malik bahwa dalam perang Uhud itu Nabi Muhammad saw. terluka, gigi beliau patah
dan wajah beliau berlumuran darah. Ketika itu beliau berkomentar,
"bagaimana mungkin satu kaum mendapatkan kebahagiaan, sedangkan mereka
melumuri wajah Nabi mereka dengan darah." Maka Allah untuk menegur Nabi,
Allah menurunkan ayat, tak sedikitpun
campur tanganmu dalam urusan mereka. mungkin ucapan yang keluar dari beliau
dikarenakan terbawa suasana sehingga sampai keluar ucapan yang menurut Allah
tak pantas diucapkan oleh seorang Nabi. Bahkan dalam riwayat yang lain Nabi
juga sempat mendoakan mereka dengan kata laknat atas mereka. Tetapi jangan
salah, teguran ini merupakan bentuk kema'suman nabi Muhammad saw.
Secara tersirat mungkin Allah
menegaskan, bahwa hanya Allah yang layak menghukumi. Semua yang terjadi tidak
ada kaitannya dengan pribadi Muhammad. "Tugasmu—Nabi Muhammad—hanya sebagai penyampai risalah Ku."
Dzalim adalah mengambil hak
orang lain untuk diberikan kepada yang bukan haknya. Dan puncak kedzaliman itu
adalah ketika memberikan sifat ketuhanan kepada selain yang bukan haknya, yakni
Allah. Istilah lain syirik, seperti dalam QS. Luqman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ
يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
"Ketika Luqman berkata kepada anaknya, dia
memberi nasihat kepadanya, "Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan
Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang
besar." QS. Luqman: 13
Ayat 129
"Dan
milik Allah-lah apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Dia mengampuni
siapa yang Dia kehendaki, dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah
Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Dengan menerima tobat mereka
ataupun mengadzab mereka, mungkin dimata manusia terkesan Allah seenaknya
sendiri, tapi perlu diingat semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik
Allah. Allah mengampuni atau mengadzab siapa yang dikehendaki.
Allah al-Ghofur al-Rahim, merupakan salah satu sifat yang dimiliki Allah yakni
zat yang tidak bosan untuk mengampuni hamba-Nya, dan zat yang selalu
menyayangi. Lafadh غفور (Ghofur)
dan رحيم (Rahim)
mengikuti wazan فعول (fa'ulun)
dan فعيل (fa'ilun)
yang mempunyai faedah mubalaghoh
Wallahua'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar