Senin, 08 Januari 2018

TAFSIR TAHLILI

TAFSIR TAHLILI JUZ 1-5
SURAT ALI 'IMRON: 121-129
Oleh: Mohammad Amri Rosyadi

وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ لِلْقِتَالِ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (121) إِذْ هَمَّتْ طَائِفَتَانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلَا وَاللَّهُ وَلِيُّهُمَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ (122) وَلَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ بِبَدْرٍ وَأَنْتُمْ أَذِلَّةٌ فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (123) إِذْ تَقُولُ لِلْمُؤْمِنِينَ أَلَنْ يَكْفِيَكُمْ أَنْ يُمِدَّكُمْ رَبُّكُمْ بِثَلَاثَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُنْزَلِينَ (124) بَلَى إِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِ آلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ (125) وَمَا جَعَلَهُ اللَّهُ إِلَّا بُشْرَى لَكُمْ وَلِتَطْمَئِنَّ قُلُوبُكُمْ بِهِ وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ (126) لِيَقْطَعَ طَرَفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَوْ يَكْبِتَهُمْ فَيَنْقَلِبُوا خَائِبِينَ (127) لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ (128) وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (129)

Ayat 121
"Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berangkat pada pagi hari meninggalkan keluargamu untuk mengatur orang-orang beriman pada pos-pos pertempuran. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui."
Asbabun Nuzul

نزول آية وَإِذْ غَدَوْتَ في غزوة أحد، أخرج ابن أبي حاتم وأبو يعلى عن المسور بن مخرمة قال:
قلت لعبد الرحمن بن عوف، أي خالي: أخبرني عن قصتكم يوم أحد، فقال:
اقرأ بعد العشرين ومائة من آل عمران تجد قصتنا، أي من قوله: وَإِذْ غَدَوْتَ ...
إلى قوله تعالى: ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعاساً أي وما بعد ذلك بمقدار ستين آية.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Abu Ya'la dari, ia berkata: saya bertanya kepada pamanku, Abdurrohman bin 'Auf, "Ceritakan kepadaku tentang kisahmu pada perang Uhud." Beliaupu menjawab, "Bacalah ayat setelah ayat 120 dari surat Ali 'Imron, kamu akan menemukan kisah kami."
Maksudnya firman Allah وَإِذْ غَدَوْتَ sampai ثُمَّ أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ بَعْدِ الْغَمِّ أَمَنَةً نُعاساً. Kira-kira sampai 60 ayat.
Dikelompok ayat sebelumnya, menjelaskan tentang sikap dan perilaku yang lebih bersifat batin dengan ucapan-ucapan kasar oleh kaum kafir terhadap kaum muslim. Kemudian di ayat ini masih berbicara tentang perilaku kaum kafir tapi disini lebih bersifat fisik, seperti perang. Dan beberapa teks menyebutkan bahwa ayat 121 ini, berkaitan dengan perang Uhud.
Dalam hal munasabahnya, ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya, yakni ayat 120, dimana keterkaitan itu menjelaskan suatu pegangan hidup yang kemudian dicontohkan dengan kekalahan pasukan muslim dalam perang Uhud yang tersirat pada ayat 121. Di ayat 120 menyebutkan,
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا
"Jikalau kalian bersabar dan patuh, maka tidak ada suatu pun tipu daya mereka yang bisa membahayakan kalian."
Diceritakan, pada pagi itu, Rosulullah mengatur serangan dengan menempatkan para pasukan pada pos-posnya masing-masing. Termasuk para pemanah, Rasululllah mengamanati Abdullah bin Zubair untuk memimpin lima puluh orang pemanah. Beliau berkata, "Hujanilah pasukan berkuda musuh dengan anak panah kalian. Jangan biarkan mereka menyergap dari belakang. Apa pun yang akan terjadi, jangan pernah meninggalkan posisi kalian meskipun kemenangan telah berpihak pada kita, atau lebih-lebih dalam keadaan kita dikalahkan musuh."
Peperangan pun dimulai, dan pasukan muslim berhasil membuat pasukan kafir Quraiys kocar-kacir melaikan diri. Kaum muslim pun melakukan pengejaran hingga medan perang hanya menyisakan korban perang saja. Setelah itu mereka pun kembali dan memunguti rampasan perang yang tertinggal. Malapetaka kekalahan pasukan muslim berawal dari keterpedayaan dengan kemenangan sehingga membuat mereka tidak patuh kepada pimpinan, yakni Abdullah bin Zubair, untuk ikut turun memunguti harta rampasan tadi.
Melihat adanya kelemahan pada posisi kaum muslim, Kholid bin Walid sebagai pimpinan kafir Quraiys dengan beberapa pasukan memutar kuda mereka, dan menyerang balik dengan menaiki bukit yang telah ditinggalkan sebagian pasukan pemanah muslim. Penyerangan mereka membuat kaget dan panik kaum muslim. Bagaimana tidak, kaum muslim dikepung dari dua arah, dibelakang ada pasukan berkuda, sedangkan di depan ada pasukan Quraiys yang datang dari arah pelariannya.
Oleh karena itu, pemakaian lafadh ( تُبَوِّئُ) tubawwi'u di ayat tersebut sangatlah penting, dimana lafadh tubawwi'u (bawwa'a بوّأ) terambil dari kata (أوّب) awwaba yang bermakna kembali, artinya dalam keadaan bagaimana pun kalian harus kembali ke penempatan asal. Jangan sampai terpedaya dengan keadaan yang sementara. Selain itu, bentuk kemantapan dalam ayat tersebut juga terdapat lafadh (مَقَاعِدَ) maqo'id bukan (مواقم) mawaqim ataupun (مجالس) majalis. Secara arti mungkin sama, tapi kedalaman dari lafadh tersebut yang beda. Maqo'id merupakan jamak dari lafadh (مقعد) maq'ad, tempat duduk. Sedangkan mawaqim jamak dari lafadh (مقام) maqom, tempat berdiri.
Duduk lebih menunjukkan kemantapan daripada berdiri yang lebih memberi kesan mudah untuk berpindah tempat. Disisi lain, duduk mempunyai beberapa manfaat, antara lain:
a.    Orang yang duduk akan lebih tenang untuk berpikir, disebutkan dalam jurnal PLOS ONE, dengan duduk seseorang akan mudah mengingat daftar kata-kata dan memudahkan dalam hal hitung-hitungan. Sedangkan, kerja sambil berdiri akan meyulitkan seseorang untuk berkonsentrasi karena sibuk mencari posisi yang nyaman dalam berdiri.
b.    Bisa mengatur emosi daripada yang berdiri. Seperti sabda Nabi yang menanggapi orang yang sedang marah. Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Dzar, Ia berkata: Rosulullah bersabda kepada kami: "Jika salah seorang dari kalian marah dan ia dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk. Jika rasa marahnya hilang (maka itu yang dikehendaki), jika tidak hendaklah ia berbaring.
Adapun antara maqo'id dan majalis, maqo'id berasal dari kata (قعد) qo'ada dan majalis berasal dari kata (جلس) jalasa. Keduanya mempunyai arti sama, yakni duduk. Bedanya, bentuk qo'ada digunakan pada posisi tinggi ke posisi rendah, seperti dari posisi berdiri ke posisi duduk, nah.. bentuk duduk ini adalah qo'ada. Sedangkan jalasa digunakan pada posisi rendah ke posisi lebih tinggi, seperti duduk dari keadaan berbaring atau tidur.
Ayat 122
"Ketika dua golongan dari pihak kamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong mereka. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal."
Asbabun Nuzul
روى الشيخان عن جابر قال: فينا نزلت: إِذْ هَمَّتْ طائِفَتانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلا، وَاللَّهُ وَلِيُّهُما قال: نحن الطائفتان: بنو حارثة وبنو سلمة، وما نحب أنها لم تنزل، لقوله تعالى: وَاللَّهُ وَلِيُّهُما.
Diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Jabir ibn 'Abdillah. Ia berkata, "ayat ini (إِذْ هَمَّتْ طائِفَتانِ مِنْكُمْ أَنْ تَفْشَلا، وَاللَّهُ وَلِيُّهُما) berkaitan dengan kami." "dua kelompok itu adalah kami, yakni Bani Harisah dan Bani Salamah. Kami sama sekali tidak senang bila ayat ini tidak diturunkan, karena pada ayat selanjutnya Allah menyebutkan " وَاللَّهُ وَلِيُّهُما." Padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu.

Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya yakni, Q.S. Ali Imron: 118, yang mana didalamnya Allah memperingatkan orang Muslim agar tidak menjadikan orang-orang diluar kalangannya (agama) sebagai teman akrab atau orang-orang kepercayaan. Karena tidak memungkiri bahwa, banyak dari kalangan mereka selalu menginginkan adanya suatu kemadhorotan, kesusahan atau apa saja yang dianggap tidak mengenakkan dalam diri Muslim.
Contoh yang telah terjadi yakni pada peperangan di lembah Uhud. Dimana dalam pasukan Nabi terdapat seorang Yahudi munafik, yakni Abdullah bin Ubay bin Salul yang membalikkan untanya kearah Madinah dan di ikuti tiga ratus pengikut setianya di saat musuh sudah berada di depan mata. Hal ini membuat kekuatan muslim berkurang dan dipastikan mental mereka akan down. Bayangkan saja, tiga ribu pasukan kafir melawan tujuh ratus pasukan muslim. Sehingga menyebabkan adanya dua kelompok yakni, bani Salamah dari suku Khazraj dan bani Haritsah dari suku 'Aus, yang ingin mundur dari peperangan karena takut mati.
Penggunaan kalimat hammat disini lebih dipilih dari pada memakai kalimat aroda. Karena memang dua golongan itu, tidak jadi mundur menuruti keinginannya seperti yang telah disebutkan diatas. Ini dibuktikan dengan kematian 'Abdullah bin 'Amr, ayah Jabir, sebagai pemuka bani salamah dari suku Khazraj. Dalam mu'jam al-Wasith, hamma berarti 'azama 'ala al-qiyami bihi wa lam yaf'alhu, artinya keinginan itu hanya sebatas keinginan saja, tanpa ada greget untuk melakukannya. Sedangkan aroda berarti hamalahu 'alaihi kurang lebih artinya keinginan itu sudah dibawa untuk dilakukan.
Dalam tafsir al-Sya'rowi menjelaskan bahwa, al-hammu adalah gerakan pikiran untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. lintasan pikiran ini berada dua strip dibawah niat dan azam. Niat adalah berkehendak akan sesuatu berbarengan dengan kegiatan atau pekerjaannya itu, sedangkan 'azam ialah berkehendak akan sesuatu tanpa disertai dengan melakukannya. Jadi yang terjadi pada mereka hanyalah suatu keragu-raguan, dalam konteks ayat tersebut yakni keraguan untuk mundur atau tidak. Dengan seperti itu, Allah memaklumi dengan adanya rasa takut yang menghampiri mereka. Suatu yang dianggap logis jika dalam pikiran mereka selalu dihinggapi rasa was-was dari berbagai macam bahaya.
Oleh karena itu, dengan adanya lafadh berikutnya, وَاللَّهُ وَلِيُّهُما membuat mereka senang, bahwa ada Allah yang akan selalu menolongnya. Akhirnya mereka membuang rasa takut mereka dan ikut berjuang kembali bersama Rasul. Dan sebagian dari mereka ada yang menjadi bagian dari syuhada' seperti yang telah diceritakan di atas.

Ayat 123
"Dan sungguh, Allah telah menolong kamu dalam perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya."
Berbeda dengan ayat 121 diatas, yang menyiratkan kejadian dalam perang Uhud, dimana ketidaksabaran mereka membuat mereka kurang tawakkal kepada Allah swt. sehingga mereka melenceng dari perintah Nabi dan memperoleh kekalahan. Tetapi di ayat 123 ini, Allah mengingatkan kembali tentang apa yang terjadi pada waktu perang Badar. Dimana mereka sebelumnya merasa kaum lemah dengan persiapan perang yang kurang, hanya mengandalkan kepasrahan dengan mematuhi perintah. Sehingga Allah tak sampai hati membiarkan hambanya mendapati kekalahan. Akhirnya Allah pun mengutus para malaikat untuk membantu pasukan muslim untuk mengalahkan kaum kafir.
Ini sebagai bukti, bahwa kita tidak usah takut dan khawatir—seperti yang dilakukan oleh dua kelompok di ayat sebelumnya—jumlah dan kesiapan mereka tidak akan mempengaruhi, toh juga, meskipun kita sedikit dan lemah, tapi Allah masih bersama kita. Dan kemenangan selalu berada dipihak yang benar, selama kebenaran itu diimbangi dengan hal yang benar, tawakkal dan tidak sombong. Karena dengan terbesitnya rasa sombong meskipun sedikit, akan mempengaruhi jalannya peperangan, meskipun akhirnya menang. Hal ini seperti yang terjadi pada perang Hunain dan termaktub dalam QS. At-Taubah: 25-26.
"(25) Sesungguhnya Allah telah menolong kalian dimedan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak (sombong) karena banyaknya jumlah (kalian), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitkpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu (muslimin) lari kebelakang dengan tercerai-berai. (26) Kemudian Allah memberikan ketenangan pada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya. Dan Allah menimpakan bencana pada orang-orang yang kafir."
فَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ, bertakwalah kepada Allah agar kamu mensyukuri-Nya. Dengan bertakwa yakni melakukan segala bentuk amalan, perintah atau larangan merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kita kepada Allah.
Banyak disebutkan dalam kitab sejarah, bahwa dalam perang Uhud ini kaum muslimin menderita kekalahan. Secara statistik mungkin iya, tetapi kalaupun tetap dikatakan kalah, kekalahan muslimin itu merupakan tombak kemenangan dalam peperangan berikutnya. Karena sebagai pembelajaran kaum muslim agar lebih patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Menarik, ketika Syekh Mutawalli al-Sya'rowi berpendapat bahwa, dalam perang Uhud kaum Muslim tidaklah kalah dan kaum Kafir jauh dari kata menang. Karena menurut beliau, syarat dikatakan menang paling tidak ada tiga, yakni: pertama, harus berhasil menduduki daerah peperangan atau daerah yang diserang. Kedua, adanya pasukan musuh yang tertawan. Ketiga, adanya harta rampasan perang (ghonimah). 
Ayat 124-125
"(Ingatlah), ketika engkau (Muhammad) mengatakan kepada orang-orang beriman, "Apakah tidak cukup bagimu bahwa Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?"
"Ya" (cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah menolong dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.
Ada perselisihan pendapat dikalangan Ulama, tentang keterkaitan ayat tersebut apakah terkait dengan konteks perang Badar atau perang Uhud. Dalam tafsir Ibnu Katsir, menyebutkan…
Quraiys Shihab berpendapat, bahwa di ayat ini masih dalam konteks perang Uhud, dimana Allah menjanjikan akan menurunkan bala tentara yang tak terlihat seperti yang telah Allah lakukan pada saat perang Badar. Dikatakan masuk dalam konteks Uhud karena jumlah tentara yang dijanjikan, karena dalam perang Badar hanya dibatasi pada angka seribu seperti yang tertera dalam Q.S. al-Anfal: 9, sedangkan dalam perang Uhud oleh Allah menjanjikan lebih, yakni mencapai angka tiga ribu bahkan akan diturunkan sampai lima ribu tentara (baca: Malaikat).
Dalam dua ayat tersebut, jika dipahami secara biasa, maka akan punya kesimpulan bahwa Allah akan menurunkan tentara untuk membantu kalian sebanyak tiga ribu tentara dan itu cukup. Tapi jika kalian bersabar dan bertakwa maka Allah akan menambah tentaranya sampai lima ribu tentara. Nyatanya tidak, tiga ribu atau lima ribu masih tetap bersyarat, terbukti dalam perang Uhud tak ada satupun malaikat yang diturunkan oleh Allah. Ternyata –disebutkan dalam tafsir Misbah—janji Allah diatas bukanlah janji yang harus langsung dipenuhi melainkan bersyarat, yakni "jika kamu bersabar dan bertakwa.". Sayangnya mereka kaum muslim mengabaikan hal yang menjadi syarat tersebut dengan tidak patuh dengan perintah Nabi.
Mungkin kita akan mempertanyakan, mengapa harus dengan menurunkan ribuan malaikat? padahal satu malaikat saja dalam kitab-kitab kuning seperti Daqoiq al-Akhbar menyebutkan bahwa malaikat itu sangat gede, dan jika memang seperti itu, satu malaikat pun di rasa cukup untuk menghancurkan pasukan kafir. Dalam tafsir Misbah, penyebutan suatu jumlah yang lebih banyak akan membuat pasukan muslim lebih superior, sehingga membuat hati mereka lebih tenang dan tidak takut.
Term al-Malaikati munzalin atau malaikat yang diturunkan mengandung penegasan bahwa yang diturunkan bukan malaikat biasa, mereka adalah malaikat penghuni langit bukan penghuni bumi. Apakah keduanya berbeda? Disini penulis belum tahu secara pasti, adakah perbedaan diantara dua kelompok tersebut. Tetapi kalaupun tidak ada beda mungkin istilah langit yang disandarkan pada sebagian malaikat, oleh manusia akan memberi kesan bahwa makhluk-makhluk langit pasti hebat-hebat dan itu membuat mereka percaya diri.
Kemudian di ayat kedua memakai term al-Malaikati musawwimin atau malaikat yang memakai tanda, artinya malaikat yang pemberani. Apa hubungannya "yang memakai tanda" dan pemberani? ketika seseorang mamakai sebuah tanda, berarti dia akan tampil beda dengan umumnya orang. Dan ketika dia tampil beda dengan umunnya orang berarti dia siap disorot oleh banyak pasang mata, dan itu menurut penulis sangat berani sekali. Sehingga ketika ditarik dalam konteks perang, pasukan yang memakai tanda tidak akan sembunyi-sembunyi, tidak ada takutnya sama sekali, dia sudah terlihat jelas dan siap untuk menyerang.
Di dua ayat tersebut juga menyebutkan pemakaian kalimat (baca: kata) yang berasal dari kata yang sama tapi ternyata mempunyai kegunaan yang berbeda, yakni يُمِدَّكُمْ (yumiddakum) dan يُمْدِدْكُمْ (yumdidkum). Keduanya berasal dari kata madad atau imdad yang artinya pertolongan, dalam dunia tasawuf mempunyai arti pertolongan atau bantuan dari langit. Menurut al-Biqo'i—seperti yang dikutip Qurays Shihab—keduanya hanya dibedakan pertolongan yang tidak nampak dan nampak saja. Perbedaan nampak tidaknya itu tersebut terletak pada jelasnya qolqolah dal kedua di kalimat yumdidkum yang tidak ada di kalimat yumiddakum. Disini penulis kurang bisa memahami maksud dari nampak tidaknya pertolongan tersebut, karena antara yumiddakum dan yumdidkum dalam konteks perang Uhud sama-sama tidak nampaknya.
Mengutip perkataan al-Sya'rowi sebagai kesimpulan dalam ayat ini, bantuan serta pertolongan Allah hanya diberikan kepada orang-orang yang menyambut dan menerima panggilan iman, yakni dengan bersabar dan bertakwa. Tidak usah muluk-muluk dengan menyiapkan peralatan yang memang tidak ada. Siapkan semampunya saja, jika memang kesiapan dan kemampuan kalian tidak bisa menandingi kemampuan mereka. maka bersabar dan bertakwalah, bahwa masih ada kekuatan diatas kekuatan yakni Allah swt.
Ayat 126
"Dan Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar hatimu tenang karenanya. Dan tidak ada kemenangan itu, selain dari Allah yang Mahaperkasa, Maha bijaksana."
Masih berkaitan dengan penurunan malaikat di ayat sebelumnya, disini Allah menegaskan bahwa diturunkannya malaikat-malaikat tersebut bukan sebagai pembawa suatu kemenangan. Tetapi sebagai kabar gembira agar mereka, para muslim, merasakan ketenangan dan kepercayaan diri dan mencapai suatu kemenangan. Karena tidak ada suatu kemenangan selain dari Allah dengan catatan—seperti yang telah disebutkan di ayat sebelumnya—mereka harus sabar dan bertakwa.
Dalam tafsir Munir, Wahbah Zuhaili menjelaskan imdad bi al-Malaikati mempunyai dua tujuan, yakni:
1.    Sebagai kabar gembira dengan adanya bantuan melawan musuh dan membuat hati mereka senang.
2.    Menenangkan mereka bahwa Allah masih bersamanya dan sesungguh-Nya Dialah sang Penolong yang hakiki.
Al-Sya'rowi menegaskan, jangan pernah kalian membayangkan dengan diturunkannya beribu-ribu jumlah malaikat itu merupakan satu-satunya jalan bagi Allah dalam upaya memenangkan kalian. Karena Allah mampu memenangkan kalian dengan cara Allah sendiri, tanpa embel-embel apapun. Seperti firman Allah yang sering kita dengar, yakni:
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ (82)
"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, "jadilah!" maka jadilah sesuatu itu." QS. Yasin: 82
Ayat ini mempunyai kesamaan dengan ayat yang ada di surat al-Anfal: 
Dalam tafsir ar-Rozi, al-'Aziz sebagai isyarat betapa sempurnanya kekuatan atau kemampuan-Nya, sedangkan al-Hakim merupakan isyarat betapa sempurnanya pengetahuan-Nya, tidak ada kebutuhan hamba-Nya yang luput dari pengetahuan Allah dan juga Allah mengetahui manakah yang layak mendapatkan pertolongan-Nya.
Ayat 127
"(Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bantuan) adalah untuk membinasakan segolongan kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, sehingga mereka kembali tanpa memperoleh apa pun."

Ayat 128
"Itu bukan menjadi urusan (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengadzabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang dzalim."
Dihubungkan dengan kejadian dalam perang Uhud dimana, kematian paman Nabi yakni, Hamzah bin Abdul Mutholib secara sadis membuat Nabi sakit hati. Ditambah dengan keadaan beliau pasca perang, seperti yang diriwayatkan imam Muslim dan imam Ahmad dari Anas bin Malik bahwa dalam perang Uhud itu Nabi Muhammad saw. terluka, gigi beliau patah dan wajah beliau berlumuran darah. Ketika itu beliau berkomentar, "bagaimana mungkin satu kaum mendapatkan kebahagiaan, sedangkan mereka melumuri wajah Nabi mereka dengan darah." Maka Allah untuk menegur Nabi, Allah menurunkan ayat, tak sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka. mungkin ucapan yang keluar dari beliau dikarenakan terbawa suasana sehingga sampai keluar ucapan yang menurut Allah tak pantas diucapkan oleh seorang Nabi. Bahkan dalam riwayat yang lain Nabi juga sempat mendoakan mereka dengan kata laknat atas mereka. Tetapi jangan salah, teguran ini merupakan bentuk kema'suman nabi Muhammad saw.
Secara tersirat mungkin Allah menegaskan, bahwa hanya Allah yang layak menghukumi. Semua yang terjadi tidak ada kaitannya dengan pribadi Muhammad. "Tugasmu—Nabi Muhammad—hanya sebagai penyampai risalah Ku."
Dzalim adalah mengambil hak orang lain untuk diberikan kepada yang bukan haknya. Dan puncak kedzaliman itu adalah ketika memberikan sifat ketuhanan kepada selain yang bukan haknya, yakni Allah. Istilah lain syirik, seperti dalam QS. Luqman:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
"Ketika Luqman berkata kepada anaknya, dia memberi nasihat kepadanya, "Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar." QS. Luqman: 13
Ayat 129
"Dan milik Allah-lah apa yang ada dilangit dan apa yang ada di bumi. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki, dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Dengan menerima tobat mereka ataupun mengadzab mereka, mungkin dimata manusia terkesan Allah seenaknya sendiri, tapi perlu diingat semua yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Allah mengampuni atau mengadzab siapa yang dikehendaki.
Allah al-Ghofur al-Rahim, merupakan salah satu sifat yang dimiliki Allah yakni zat yang tidak bosan untuk mengampuni hamba-Nya, dan zat yang selalu menyayangi. Lafadh غفور (Ghofur) dan رحيم (Rahim) mengikuti wazan فعول (fa'ulun) dan فعيل (fa'ilun) yang mempunyai faedah mubalaghoh
Wallahua'lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar